Mohon tunggu...
Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady Mohon Tunggu... Penulis - Warga menengah ke bawah

Masyarakat biasa merangkap marbot masjid di pinggiran Kota Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pilih Durasi Shalat Cepat atau Lambat?

8 Juli 2020   17:36 Diperbarui: 8 Juli 2020   17:30 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lamat-lamat, dari kejauhan saya mendengar dari corong-corong masjid atau langgar lain sudah terdengar orang tadarus. Itu menandakan bahwa shalat tarawih dan witir sudah rampung. Sementara di langgar An-Nur, baru memasuki rakaat ke 7&8 shalat tarawih.

Nah, jamaah mulai berhamburan pulang satu per satu. Saya kecil dengan polos hanya bisa mendengar pekikan takbir dari imam yang disambut oleh sandal-sandal bergesekan dari jamaah yang melangkah pulang. Memang ada yang masih bertahan sampai shalat tarawih dan witir rampung, tapi kebanyakan memilih untuk pulang. Jangan tanyakan kami kemana, ya kami memilih untuk ikut pulang, hehehe.

Pengalaman saya ini mendapat legitimasi sebuah cerita jenaka dari KH Anwar Zahid. Dalam ceramahnya beliau berkelakar bahwa imam shalat yang melulu mengulang surat yang hendak dibacanya sampai tiga kali, "wamaaa...wamaaa....wamaaa". Lantas dari belakang anak kecil dengan polos dan dan suara kerasnya berucap, "kulhuwalek, keesueeewen (kelamaan)". Hahaha.

Kalau anda belum pernah mendengar ceramahnya, saya rekomendasikan untuk segera mendengarkannya. Meski ceramahnya banyak yang mengundang tawa, tapi materi yang disampaikan tetap berbobot dan relevan dengan kebhinekaan yang ada di negeri ini.

***

Nah, saya pernah mendiskusikan durasi cepat dan lambat imam shalat ini dengan teman saya, sebut saja namanya Akip, seorang peneliti yang karyanya sudah terpampang di Scopus. Pencapaian yang cukup oke, mengingat ia baru rampung sarjana dua bulan kemarin. Dan ia terancam akan berangkat ke Harvard University untuk melanjutkan studi magister melalui beasiswanya.

Katanya, "ya tidak apa-apa. Tiap imam tentu memiliki dasarnya masing-masing kenapa harus cepat dan lambat. Tapi saya rasa akan lebih baik jika imam shalat itu mengetahui kondisi dan situasi para jamaahnya".

Sebagai pengurus masjid, saat itu saya menafsirkan mengetahui "kondisi dan situasi jamaah" ini hanya dari sisi ketahanan pangannya saja. Kalau keluarga itu memiliki ketahanan pangan yang baik, akan sering datang ke masjid menunaikan shalat berjamaah. Karena ia tidak disibukkan dengan pencarian harta benda. Dan ini berlaku sebaliknya.

Namun semakin ke sini, saya menyadari bahwa penafsiran itu meliputi banyak sekali variabel, tidak hanya ketahanan pangan. Misalnya begini, ketika imam shalat jamaah di masjid terlalu cepat sedangkan jamaahnya orang-orang yang telah tua renta dan (mohon maaf) gendut, maka malah membuat jamaah kapok datang ke masjid. Alih-alih masjid ramai, malah sebaliknya.

Atau bisa juga imam shalat jamaah di masid terlalu lama, sedangkan jamaahnya adalah pegawai kantor dan pegawai toko yang durasi istirahatnya dihitung sekian menit, maka juga akan membuat mereka kapok datang ke masjid. Karena tidak ada waktu yang tersisa untuk jam makan siang.

Atau ada lagi contoh, jamaah di sekitar masjid emoh datang shalat berjamaah karena akan membuang waktu. Lebih baik digunakan untuk bekerja mencari makan. Maka pengurus masjid menarik jamaah dengan menyediakan sarapan atau makan siang dengan durasi shalat yang agak dipercepat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun