Mohon tunggu...
Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady Mohon Tunggu... Penulis - Warga menengah ke bawah

Masyarakat biasa merangkap marbot masjid di pinggiran Kota Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Katanya Hidup itu Pilihan, Kok Jadi Kamu yang Menentukan?

21 Juni 2020   18:09 Diperbarui: 21 Juni 2020   18:10 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita manusia-manusia yang ingin lepas dan menentukan pilihannya sendiri.

Sore itu sejumlah orang pergi keluar mencari makanan di salah satu angkringan di Timur Kampus Sanata Dharma, salah satu kampus swasta terbaik di Yogyakarta. Makanannya hangat, dan ruangan terbuka. Di sini orang-orang bebas mengambil makanan sembari mendengar deru mesin bermotor yang berlalu lalang atau mendengar sayup-sayup obrolan dari pejalan kaki.

"Es teh tapi di masuki jeruk nipis. Jeruknya diiris-iris. Kamu pesan minum apa?," tanya Om Aci, nama samaran, tapi ia sudah terbiasa dengan panggilan itu.

"Saya es jeruk."

"Saya es teh," jawab Alpis sembari tangan kanannya sibuk memegang gorengan yang masih panas.

Kami bertiga, saya, Om Aci, dan Alpis memang kerap keluar bersama.

Om Aci berusia 55 tahun. Pembawaannya selalu riang. Gaya berbusananya juga mengikuti perkembangan zaman, kendati di beberapa pakaiannya didapati guratan batik. Ia seorang penata rias. Hampir tiap hari, tempatnya selalu kebanjiran pelanggan. 

Namun ia sendiri enggan untuk membuka rekrutmen karyawan baru. Katanya, "satu karyawan, satu malasah. Jika saya memasukkan empat karyawan, ya empat masalah. Belum lagi dengan orang-orang di luar karyawannya."

Ucapan itu secara sepintas terlihat egois dan individualistik. Tepat seperti sifat orang kota yang cenderung emoh komunal. Relasi sesama manusia dimaknai seperti transaksi barang. 

Jika aku punya kenalan itu, keuntungan apa yang saya peroleh? Atau bisa juga, aku mau membantu masalahmu, tapi kamu mau memberiku apa jika masalahmu sudah rampung?

Namun jika dilihat dari konteks historis Om Aci bergeliat dengan duna tata rias, kita bisa paham kenapa ia mengambil keputusan itu. Pertama, ia pernah menjadi bos dengan karyawan puluhan di usianya yang baru memasuki kepala tiga. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun