Mohon tunggu...
Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady Mohon Tunggu... Penulis - Warga menengah ke bawah

Masyarakat biasa merangkap marbot masjid di pinggiran Kota Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Bersalaman

15 Juni 2020   14:57 Diperbarui: 15 Juni 2020   15:09 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ia memiliki perawakan tinggi, kulitnya bersih, pun begitu juga pakaiannya. Setiap orang yang baru kenal dengannya, kesan pertama menunjukan penilaian yang positif. Karena wajahnya menunjukkan keramahan melalui senyum di bibirnya.

Satu lagi ciri yang melekat pada dirinya, yaitu peci bulat warna putih yang tidak pernah lepas dari kepalanya, baik saat bersosial, bekerja, maupun beribadah. Ia akrab disapa Pak Rokim.

Profesinya sebagai pegawai kantor pos memberinya banyak pengalaman, terutama ketika berinteraksi dengan masyarakat luas. Mulai cara menghadapi anak kecil sampai usia tua. Ya bisa dibilang ia telah cakap menghadapi polah tingkah semuanya berbekal pengalamannya bekerja di kantor pos.

Usianya yang hampir menginjak kepala lima, tidak mengendorkan semangatnya untuk bekerja, bersosial, dan juga beribadah. Bahkan sekali waktu ia pernah mengatakan bahwa ia tidak bisa shalat dengan tenang ketika berada di rumah. Jadi setiap lima waktu, ia selalu menyempatkan shalat berjamaah di sela-sela kesibukannya.

Kendati perangainya baik, ia tetap saja manusia biasa. Yang suatu saat bisa berbaik hati, bisa juga marah, semangatnya kendor, atau menjadi lebih baik dibanding malaikat, bahkan bisa menjadi jahat layaknya setan. Iya, manusia memang dinamis dalam segala aspeknya, tidak seperti robot.

Sekali waktu, Pak Rakim pernah melaksanakan shalat dhuhur berjamaah disalah satu masjid di dekat rumahnya. Menurutnya, masjid itu mampu memberi ketenangan dan kenyamanan setiap kali ia menunaikan ibadah shalat lima waktu. Kebetulan, ia datangnya agak terlambat, sehingga mendapat shaf agak belakang. Ia tidak tertinggal rakaat shalat.

Rampung shalat, Pak Rakim nyeletuk, "mas nanti habis salaman dengan dia, tangannya dicuci tujuh kali. Yang terakhir pakai debu, biar suci mas".

Ucapan itu ia tujukan pada seorang mahasiswa yang sedang berjabat tangan dengan Om Yuki, seorang waria. Tanpa diduga oleh Pak Rakim, celetukan itu membuahkan perseteruan dengan Om Yuki. Padahal keduanya kerap terlihat akrab. Lha wong berangkat ke masjid aja mereka berdua kadang boncengan kok.

Perseteruan itu berlangsung cukup lama. Keduanya kerap berpapasan tapi tidak saling bertegur sapa. Akhirnya sekitar dua pekan setelah kejadian itu, Pak Rakim menyadari bahwa ucapannya tempo dulu mungkin menyinggung hati Om Yuki. Usai menunaikan shalat magrib, dengan tergopoh-gopoh, Pak Rakim berjalan cepat menuju Om Yuki.

"Maaf ya mas. Kemarin saya hanya guyon. Tidak bermaksud menyinggungmu", mohonnya dengan wajah memelas.

"Iya, sama-sama. Tapi ingat, tidak semua orang guyonannya itu sama. Meskipun saya waria, saya juga manusia, punya harga diri. Kalau kamu disamakan dengan anjing, kamu mau?", tegas Om Yuki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun