Menurut laporan Forum Ekonomi Dunia tahun 2025, AI bisa meningkatkan PDB Indonesia hingga 10 persen melalui efisiensi pendidikan. Di sekolah-sekolah negeri atau swasta di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal), embedding models bisa diintegrasikan dalam aplikasi mobile murah, seperti yang dikembangkan startup lokal. Platform seperti Ruangguru sudah menggunakan embedding untuk rekomendasi soal ujian, membantu jutaan siswa mempersiapkan UN atau UTBK.
Embedding juga mendukung inklusi bagi siswa berkebutuhan khusus. Model audio embedding bisa mengonversi teks ke suara dengan intonasi alami, membantu tuna netra belajar mandiri. Di era pasca-pandemi, di mana pembelajaran jarak jauh menjadi norma, teknologi ini memastikan akses pengetahuan tak terbatas lokasi. Namun, pemerintah perlu berinvestasi dalam infrastruktur digital, seperti broadband di pedesaan, agar embedding tak hanya menjadi privilege kaum urban.
Embedding juga memungkinkan analisis data pendidikan. Model ini bisa mengelompokkan siswa berdasarkan pola belajar, memungkinkan intervensi dini bagi yang tertinggal. Di tingkat nasional, ini membantu Kementerian Pendidikan menganalisis tren kurikulum, memastikan kebijakan berbasis data. Embedding models menjadi katalisator untuk pendidikan merata, sesuai amanat UUD 1945 tentang mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tantangan dan Harapan ke Depan
Penerapan embedding models di pendidikan Indonesia menghadapi tantangan serius. Infrastruktur digital belum merata, dengan hanya 80 persen dari 229 juta pengguna internet terhubung, meninggalkan banyak anak di desa tanpa akses AI. Ini seperti pohon kelapa yang menjulang tinggi, namun buahnya tak bisa diraih anak-anak di bawahnya. Risiko bias dan privasi juga nyata. Model yang dilatih pada data Barat bisa mengabaikan konteks lokal, menyebabkan rekomendasi tidak relevan atau diskriminatif.
Ketergantungan berlebih pada AI bisa mengurangi kemampuan berpikir kritis siswa, seperti diperingatkan oleh ahli seperti Lindsey Zuloaga. Dengan literasi digital yang masih rendah, ada risiko penyalahgunaan, seperti deepfake dalam ujian. Biaya pelatihan model juga tinggi, memerlukan kolaborasi pemerintah, swasta, dan akademisi.
Untuk mengatasi ini, regulasi kuat diperlukan. Pemerintah bisa mengadopsi kerangka seperti Global AI Index, memprioritaskan etika dan inklusi. Pelatihan guru tentang AI dan pengembangan model lokal, seperti yang dilakukan Baidu untuk bahasa Cina, bisa menjadi langkah maju. Harapan ke depan adalah embedding models menjadi alat pemberdayaan, bukan pembagi. Dengan pendekatan berbasis kemanfaatan, keamanan, dan kesetaraan, Indonesia bisa memimpin di Asia Tenggara dalam pemanfaatan AI untuk pendidikan.
Pada akhirnya, embedding models harus dilihat sebagai bagian dari perjuangan besar, seperti kupu-kupu yang tak kenal lelah melayang di atas sawah. Kita perlu memastikan teknologi ini menyentuh hati dan jiwa generasi muda, bukan hanya pikiran mereka.
Akhirnya, seperti kupu-kupu berwarna lembut yang menari di angin pagi, embedding models datang sebagai penghibur mata dan sahabat jiwa. Mereka mengingatkan kita pada rindu akan pengetahuan tak terbatas, di mana anak-anak di bawah pohon kelapa bisa bermimpi besar, dan mimpi itu menjadi nyata, membawa Indonesia ke masa depan yang cerah, penuh harapan yang tak pernah pudar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI