Mohon tunggu...
Sufiana Tasya
Sufiana Tasya Mohon Tunggu... Mahasiswa

Seorang individu yang tertarik pada isu sosial, pendidikan, dan pemberdayaan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Rempang: Ketika Pembangunan Mengusir Rakyat dan Merusak Hak Asasi

19 Juni 2025   11:34 Diperbarui: 19 Juni 2025   12:50 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi Masyarakat Rempang Menolak Proyek Rempang Eco-City (Sumber: Tempo.co)

Pembangunan seharusnya membawa kemajuan bagi semua. Tapi bagaimana jika yang tumbuh hanya gedung dan angka investasi, sementara warga diusir dari rumahnya dan alam dihancurkan? Kasus Rempang di Kepulauan Riau menjadi gambaran gamblang tentang wajah pembangunan yang melukai. Ini bukan sekadar konflik lahan, ini soal hak asasi manusia yang terinjak dan lingkungan hidup yang dilupakan. Saatnya kita bertanya lebih dalam: siapa yang sebenarnya dibangun oleh pembangunan?

Pembangunan yang Mengguncang Akar Kehidupan

Pulau Rempang, bagian dari Kota Batam, adalah rumah bagi masyarakat adat Melayu yang telah tinggal secara turun-temurun sejak abad ke-19. Namun sejak proyek Rempang Eco-City diumumkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) oleh pemerintah dan Badan Pengusahaan (BP) Batam pada pertengahan 2023, kehidupan ribuan warga mendadak berubah.

Digadang-gadang sebagai proyek masa depan yang akan menyulap Rempang menjadi kawasan industri dan teknologi, proyek ini justru menyulut amarah dan kecemasan. Mengapa? Karena di balik narasi kemajuan, ribuan warga diminta angkat kaki dari tanah leluhurnya. Tanpa dialog terbuka, tanpa persetujuan penuh, tanpa jaminan yang layak.

Yang terjadi di lapangan justru membuat kita miris. Warga yang bertahan dianggap penghalang. Aparat turun, sebagian menggunakan kekerasan, bahkan gas air mata dilepaskan---sampai mengenai anak-anak sekolah. Ini bukan cerita dari negeri jauh, ini nyata terjadi di negeri kita sendiri.  Situasi ini dengan jelas menunjukkan bagaimana proyek ekonomi bisa menjadi alat pelanggaran HAM bila tidak dibangun di atas prinsip keadilan dan partisipasi publik.

Pelanggaran HAM atas Nama Investasi

Undang-Undang Dasar kita menjamin hak setiap orang untuk tinggal dengan aman, sehat, dan bermartabat. Tapi fakta di Rempang menunjukkan sebaliknya. Hak atas tanah, hak atas rasa aman, dan hak atas informasi dilanggar begitu saja. Komnas HAM sendiri sudah menyampaikan kekhawatirannya---ini bukan hanya soal administrasi, ini soal nasib manusia.

Lebih dari itu, masyarakat tidak diberi informasi yang transparan, apalagi dilibatkan secara penuh dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut hidup mereka sendiri. Padahal, dalam setiap proyek yang berdampak langsung pada masyarakat adat, seharusnya ada prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) yang dijalankan. Prinsip ini ditegaskan dalam Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP), yang sudah didukung oleh Indonesia.

Yang perlu digarisbawahi, warga Rempang bukan anti-pembangunan. Mereka hanya ingin pembangunan yang adil. Mereka ingin dilibatkan, ingin dihargai sebagai subjek yang punya suara, bukan sekadar objek yang bisa dipindah-pindah seenaknya.

Namun sayangnya, negara justru terlihat lebih sibuk melayani kepentingan investor asing daripada melindungi hak-hak warganya sendiri. Ini bukan hanya soal konflik lahan---ini soal bagaimana negara memposisikan rakyatnya dalam proses pembangunan. Dan kalau kita diam saja, bukan tidak mungkin hal yang sama bisa terjadi di tempat lain.

Dampak Lingkungan yang Terabaikan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun