Mendengar Sebelum Menilai: Membangun Ruang Dialog Sekolah dan Orang Tua untuk Mengatasi Masalah Anak di Sekolah
Belakangan ini sosial media kembali ramai terkait kasus viral yang melibatkan kepala sekolah di suatu sekolah yang melakukan kekerasan pada murid yang ketahuan merokok di lingkungan sekolah. Kasus tersebut memicu berbagai reaksi ada yang mendukung ketegasan sebagai bentuk penegakan disiplin murid atas perilaku yang kurang baik dan tak sedikit pula memberikan tanggapan kurang baik bahwa bentuk kekerasan yang dilakukan oleh beliau tak pantas dilakukan sebagai pendidik. Dari kasus tersebut setidaknya membuat kita sebagai guru dan pihak sekolah sebagai bahan refleksi  bagaimana sekolah dan orang tua seharusnya menyikapi masalah anak dengan bijak tanpa mengorbankan nilai kemanusiaan dan pendidikan itu sendiri.
Dari masalah di atas tentu kita bisa belajar dari berbagai masalah yang sudah terjadi. Setiap permasalahan murid tak lantas diselesaikan dengan pendekatan kekerasan atau luapan emosional. Namun, kita bisa menemukan info lain di balik itu semua dengan menggali latar belakang, tekanan psikis, kebutuhan murid yang belum terpenuhi sehingga murid melakukan pelampiasan. Begitu halnya dengan orang tua yang mendapat laporan dari anak tak lantas naik darah dan melaporkan ke pihak berwajib sehingga masalah semakin bertambah. Namun, perlu dikenali terlebih dahulu disikapi permasalahan dengan kepala dingin. Sehingga sebelum memberikan penilaian atau konsekuensi langkah pertama yang mesti dilakukan adalah mendengar.
Pendekatan mendengar sebelum menilai merupakan kunci dalam menciptakan iklim sekolah yang lebih empati dan solutif. Sekolah dan orang tua bersinergi membangun ruang dialog terbuka untuk saling berbicara dan memahami dilihat dari berbagai sudut pandang dan fakta yang ada sehingga fokus pembicaraan tidak sekadar pada penyelesaian kesalahan murid tapi juga akar penyebab, pembinaan karakter, dan kesejahteraan emosional.
Seni Mendengar merupakan Langkah Awal Memahami Akar Permasalahan
Melalui undangan yang digagas sekolah, guru, dan orang tua dapat mendengarkan sudut pandang dari murid yang telah melakukan pelanggaran sekolah sebelum mengambil tindakan penilaian atas perilakunya. Hal tersebut dianggap penting karena kita memberikan kesempatan kepada murid untuk berbicara sehingga membuka ruang untuk memahami alasan di balik setiap perilaku yang murid lakukan.
Selain itu, dengan memberikan kesempatan berbicara kita akan tahu di balik perilaku itu tersimpan cerita lain mengenai rasa penasaran, tekanan sosial, kurang perhatian, rasa gelisah, khawatir, dan sebagainya yang belum murid ungkapkan. Dengan begitu, kita akan tahu apa yang melatarbelakangi peristiwa kenakalan murid secara langsung tanpa kita memberikan tekanan.
Pendekatan mendengarkan ini membantu guru dan orang tua memahami kondisi emosional dan sosial murid secara utuh. Saat kita mendengarkan dengan saksama tanpa berusaha untuk menghakimi di saat itulah murid akan lebih terbuka dan jujur dalam menyampaikan apa yang dirasakan. Hal ini menjadi bahan refleksi untuk menepiskan stigma yang beredar dan asumsi mengenai murid tersebut.
Selain itu, mendengarkan merupakan bentuk penghargaan atas keberadaan murid sebagai individu yang dianggap penting, diterima, dan dimengerti. Hal tersebut berdampak dalam pembentukan karakter sebab akan terbiasa didengarkan sehingga mampu menahan emosi, lebih berempati, dan menghargai orang lain.
Saat murid bercerita, kita sebagai guru akan lebih mudah memahami pesan nonverbal dari murid seperti ekspresi, perubahan sikap, bahasa tubuh yang digunakan dan itu sebagai sinyal dari masalah yang tersembunyi. Sementara dari orang tua dapat menjadi jembatan dalam memahami dunia remaja yang terus berkembang dengan penuh tantangan.Â
Dengan mendengarkan setidaknya guru dan orang tua tidak sekadar sebagai pengawas tapi pendamping tumbuh yang memahami bahwa murid sedang berproses. Dari proses inilah sinergi keduanya untuk menuntun bukan menghukum, membimbing bukan menakuti. Sebab sejatinya pendidikan yang baik dimulai dari hati yang berkenan mendengar.