Mohon tunggu...
Udin Suchaini
Udin Suchaini Mohon Tunggu... Penulis - #BelajarDariDesa

Praktisi Statistik Bidang Pembangunan Desa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa yang Salah Lebih Pemarah?

18 Januari 2020   18:20 Diperbarui: 18 Januari 2020   18:19 754
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

sumber: freepik.com

Yang kita inginkan bukanlah sekedar permintaan maaf setelah melakukan kesalahan, tapi sadar diri saat melakukan kesalahan. Malu saat berhutang, malu saat menyerobot trotoar dengan kendaraan, malu saat membuang sampah sembarangan. Kita paham bahwa kehidupan telah berubah, kebutuhan mulai melebihi pendapatan, kecepatan perjalanan dibatasi oleh sesaknya kendaraan, terbatasnya lahan memaksa kita mencari cara membuang sampah. Dan bukan kebetulan, perilaku orang yang melakukan kesalahan semakin menakutkan!

Yang kita inginkan bukanlah permintaan maaf setelah melakukan kesalahan, tapi sadar diri saat melakukan kesalahan itu dilakukan lebih utama.

Saat kita menemukan orang yang sedang melakukan kesalahan, menegurnya menjadi jalan supaya tidak diulang. Namun, amarahnya yang melebihi kekecewaan kita, itu menjadi persoalan. Menegur pun menjadi sesuatu yang tidak gampang. Seperti saat menagih hutang, orang yang berhutang ternyata bisa jauh lebih berbahaya jika dibandingkan dengan tagihan yang akan kita minta.

Orang yang kita hadapi seketika menjadi pemarah, seakan monster yang menakutkan. Orang-orang seperti ini tahu-tahu muncul banyak sekali. Kita semakin bingung, orang model seperti ini muncul di mana-mana. Cara kita untuk menagih hutang pun semakin sulit karenanya. Perilaku seperti itu tidak hanya satu, menjadi sebuah massa yang memaksa kita harus undur diri, mengalah dan merelakan. Di media sosial pun persoalan "Yang Salah Yang Lebih Galak" semakin banyak diperbincangkan.

Amarah itu tentu saja sangat berlawanan saat meminjam uang: memohon dengan alasan sangat saat membutuhkan, meyakinkan bahwa hutangnya akan segera dikembalikan, dan membuat kita malu jika tidak meminjamkan. Aksi seperti ini tidak dapat dilakukan oleh orang sembarangan, sudah terlatih tentu saja. Banyak orang miskin yang lebih memilih berusaha dibandingkan meminta-minta. Banyak orang butuh mendesak, namun tak punya keberanian untuk melakukannya. Jadi, orang miskin dan memiliki kebutuhan mendesak, justru tidak memiliki keahlian itu.

Amarah itu bersemayan dalam keterpaksaan, supaya tidak tertekan akibat tuntutan kewajiban. Mereka menjadi defensif, protektif, bahkan agresif.

Amarah itu bersemayan dalam keterpaksaan, supaya tidak tertekan akibat tuntutan kewajiban. Mereka menjadi defensif, protektif, bahkan agresif. Lebih dramatis lagi, rasa memiliki terhadap yang bukan haknya semakin menjadikan mereka posesif. Pendek kata, di tengah cekaman rasa takut akan ditagih kembali yang bukan haknya, dengan rasa tertekan dan marah, justru menjadikan kita merasa tertekan, pasrah, hingga berujung merelakan.

Kini, ancaman itu tumbuh subur sampai sampai-sampai kita merasa terancam saat menagih hak kita sendiri. Penyebabnya sepele, munculnya keributan yang justru tidak menghasilkan apa-apa. Kita memang memiliki hak untuk meminta kembali uang milik kita, namun dengan kondisi seperti ini, kita jadi mengerti bahwa kita lebih mampu dibandingkan dirinya.

Di luar sana, hubungan antara tertekan dan amarah yang berkutat dalam hutang piutang tak berhenti dalam menagihnya. Si penagih hutang yang telah kehabisan akal, akhirnya memasang cerita di media sosial, namun ternyata berujung dipolisikan. Amarah orang yang berhutang menjadi proses hukum yang harus dilalui si pemberi hutang, dengan alasan pencemaran nama baik melalui UU ITE. Kebaikan dengan memberi hutang sedemikian korosif. Rasanya kita lebih siap melawan kelaparan dan kemiskinan, dibandingkan dengan melawan orang yang posesif dan maunya menang sendiri.

Kebaikan dengan memberi hutang sedemikian korosif. Rasanya kita lebih siap melawan kelaparan dan kemiskinan, dibandingkan dengan melawan orang yang posesif dan maunya menang sendiri.

Bahayanya perlawanan oleh orang yang tidak memiliki hak, tak berhenti pada hutang piutang. Masa kini, yang salah lebih galak banyak terjadi, dari pengguna motor naik trotoar, pengguna mobil merokok dan menjadikan jalanan sebagai asbak. Meski mereka tahu melakukan kesalahan, namun mereka tidak mau disalahkan, bahkan balik mempersoalkan.

Yang bersalah semakin tidak tahu diri. Urat malunya sudah pergi. Dicari selalu menghindar, disapa selalu berlari. Warga negeri ini semakin aneh. Semakin lama semakin banyak korban. Kalimatnya pun semakin menyakitkan, "Kalau ga niat minjemin, ga usah minjemin", "kalau ga mau kena abu rokok, tutup kaca helmnya". Saya khawatir, lama-lama akan ada paguyuban korban "Digalakin Yang Salah".

Setiap orang memiliki sisi gelap masing-masing. Apalagi jika terlibat dengan urusan uang ataupun hak lainnya. Seseorang akan terlihat watak aslinya apalagi jika berhadapan dengan yang bukan haknya. Sebisa mungkin, berikan hutang jika terpaksa. Karena, susah menagih, pasti ributnya, dan banyak dramanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun