Mohon tunggu...
Subarkah
Subarkah Mohon Tunggu... Freelance

Suka nulis, suka nonton film, suka baca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat Anak Desa Pajak Dibayar Gelap Datang

23 September 2025   17:42 Diperbarui: 23 September 2025   17:42 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang anak desa menulis surat jujur untuk DPR. Tentang listrik padam, sekolah bocor, dan pajak yang tetap dipungut, hingga akhirnya suaranya mengguncang negeri.

Di sebuah desa kecil yang jauh dari sorotan, seorang anak SMA menyalakan lampu minyak untuk menulis. Gelap sudah jadi sahabat setiap malam. Atap sekolah bocor, buku-buku sering basah, jalan menuju desa penuh lubang. Namun satu hal tetap pasti: pajak orang tuanya selalu dipungut. Dari kegelisahan sederhana itu lahirlah sebuah surat, ditujukan pada para wakil rakyat. Surat yang polos, getir, namun tulus. Surat yang tak disangka akan melintasi batas desa dan akhirnya mengguncang hati banyak orang.

Yth. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,

Perkenalkan, nama saya Arif, seorang siswa SMA dari sebuah desa kecil di pinggiran kabupaten. Saya menulis surat ini ditemani lampu minyak yang redup, karena seperti biasa, listrik di desa kami padam. Gelap setiap malam sudah menjadi hal biasa, tapi saya ingin sekali bapak dan ibu di gedung parlemen tahu bagaimana rasanya belajar dalam keadaan seperti ini.

Kami tetap membayar. Orang tua saya dan para tetangga tak pernah absen membayar iuran listrik, juga pajak. Namun setiap malam, yang kami terima hanyalah gelap. Saya pernah bertanya pada bapak saya, mengapa PLN selalu katanya merugi padahal kami tetap membayar. Bapak saya hanya tersenyum pahit dan berkata, "Entahlah, Nak. Mereka pandai menghitung, tapi mungkin bukan untuk rakyat kecil." Saya bingung, kenapa perusahaan sebesar itu bisa rugi setiap tahun, sementara orang-orang yang kerja di sana hidup lebih mapan daripada petani seperti bapak saya. Apakah benar yang mereka urus hanya dirinya sendiri?

Sekolah saya juga tidak lebih baik. Atapnya bocor, sehingga kalau hujan deras, buku-buku kami basah. Saya sering menjemur buku di bawah matahari sebelum berangkat sekolah. Ironisnya, sekolah itu tetap menarik iuran, tetap memungut biaya, seolah pendidikan hanyalah bisnis. Kurikulum yang kami jalani pun tidak pernah benar-benar memikirkan bagaimana kami belajar. Ada teman saya yang lebih mudah paham lewat gambar, ada yang lewat praktik, ada juga yang harus mendengar berulang-ulang. Tapi di kelas, kami semua dipaksa sama. Hasilnya, banyak yang hanya bisa menghafal, tapi tidak benar-benar mengerti. Apakah memang negara hanya ingin mencetak pencari kerja, bukan manusia yang merdeka?

Saya tahu, suara saya mungkin dianggap kecil. Apalah artinya seorang anak desa menulis surat ke DPR. Tapi saya ingin bertanya, mengapa negara begitu cepat memungut pajak dari masyarakat ketika ada yang sedikit berhasil, namun nyaris tidak pernah benar-benar membina masyarakat agar mandiri? Mengapa mereka yang sudah mapan dilindungi, sementara kami yang membayar dari hasil sawah hanya menerima janji?

Kemarin, ketika saya membaca berita lewat ponsel bekas, saya menemukan kabar bahwa tarif listrik akan naik lagi. Setiap pemerintahan berganti, alasan selalu sama: agar perusahaan tidak merugi. Tapi apakah artinya kami harus terus menanggung gelap tiap malam, meski tarif naik? Apa artinya pajak yang bapak saya bayar, jika jalan menuju desa tetap rusak, sekolah tetap bocor, listrik tetap padam?

Saya menulis ini bukan untuk mengeluh semata. Saya hanya ingin bapak dan ibu di kursi empuk sana bisa membayangkan, bagaimana seorang anak harus mengerjakan PR dengan lampu minyak, sementara di kota, listrik terang benderang dan fasilitas sekolah lengkap. Saya ingin bapak ibu tahu, bahwa pajak yang kami bayarkan seharusnya juga menjadi cahaya bagi desa, bukan hanya angka di laporan negara.

Saya sering merenung sendiri, apakah benar negara ini berdiri untuk semua, atau hanya untuk mereka yang punya uang dan koneksi? Apakah suara saya, suara kecil dari desa, bisa sampai ke telinga bapak dan ibu? Atau surat ini akan berakhir di laci, menumpuk bersama ribuan kertas lain yang tidak pernah dibaca?

Tetapi saya masih punya harapan. Gelap bukan berarti tanpa cahaya. Justru dalam gelap, secercah cahaya menjadi begitu berharga. Saya percaya, kejujuran seorang anak desa bisa lebih mengguncang hati daripada ribuan spanduk dan baliho. Jika bapak ibu benar-benar mendengar, mungkin surat ini bisa menjadi awal dari perubahan kecil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun