Artikel reflektif tentang hilangnya ruang publik di kota-kota Indonesia dan dampaknya terhadap interaksi sosial, empati, serta kesehatan mental masyarakat urban.
Setiap kota memiliki denyut kehidupan yang tidak hanya bergantung pada gedung-gedung megah atau jalan-jalan lebar, tetapi juga pada ruang bersama yang memberi kesempatan warga untuk bertemu, berbicara, dan merasakan kebersamaan.
Hilangnya taman, lapangan, atau sawah yang dulu menjadi tempat bermain telah mengubah cara kita berinteraksi. Perlahan, ruang yang menghubungkan kita sebagai manusia semakin menyempit.
Kota ini dulu punya ruang untuk bernapas.
Ada lapangan tempat anak-anak berlarian tanpa takut terserempet kendaraan, ada taman kecil di sudut perumahan yang menjadi tempat para orang tua bercakap sambil mengawasi anak-anak bermain. Ada sawah yang luas, tempat bermain selepas hujan sore, mengitari pematang sambil bernyanyi gembira.Â
Kini, ruang-ruang itu lenyap, berganti perumahan dan bangunan yang berderet rapat, seakan setiap jengkal tanah harus memberi keuntungan finansial.
Perubahan itu tidak hanya mengubah pemandangan, tetapi juga mengubah cara kita saling memandang.
Ruang publik adalah perpanjangan dari kehidupan sosial kita. Ia menjadi tempat pertemuan tanpa undangan, tempat percakapan tanpa agenda, dan tempat di mana orang dari latar belakang berbeda bisa saling melihat sebagai sesama manusia.
Ketika ruang publik menghilang, interaksi itu ikut terkikis. Pertemuan yang dulu terjadi di lapangan atau taman kini tergeser menjadi obrolan singkat di grup WhatsApp. Mungkin terasa lebih praktis, tetapi ada yang hilang dari percakapan digital yaitu tatap muka yang jujur, tawa yang tak tertahan, dan jeda hening yang tidak canggung.
Sosiolog Ray Oldenburg memperkenalkan konsep third place atau ruang ketiga di luar rumah dan tempat kerja yang menjadi titik temu alami masyarakat. Tanpa ruang ini, kita kehilangan napas komunitas yang memperkuat rasa kebersamaan.
Banyak kota besar di Indonesia kini berpacu membangun gedung, jalan, dan pusat perbelanjaan. Tujuannya sering kali dibungkus narasi kemajuan. Tetapi di balik narasi itu, ada jejak-jejak kehilangan yang jarang dibicarakan.