Artikel reflektif yang mengkritisi bias empati masyarakat yang hanya muncul pada kemiskinan dengan narasi atau visual dramatis, serta mengajak pembaca meninjau ulang cara memberi bantuan agar lebih adil dan membangun kemandirian.
Di balik hiruk pikuk berita dan arus unggahan media sosial, ada kemiskinan yang berjalan tanpa suara. Kemiskinan ini tidak muncul dalam foto yang dibagikan ribuan kali, tidak dibingkai oleh narasi menyentuh, dan tidak mengundang gelombang donasi instan. Namun mereka tetap ada, menjalani hari dengan beban yang sama beratnya seperti mereka yang viral. Pertanyaannya, apakah kita benar-benar menolong karena melihat kebutuhan, atau kita hanya tergerak ketika cerita itu dikemas dengan indah?
Di tengah derasnya arus informasi, empati sering kali bekerja seperti kamera. Ia baru terarah ketika ada cahaya yang indah. Kisah kemiskinan yang dianggap layak dibantu seolah harus memiliki latar yang dramatis, foto yang memancing air mata, atau narasi yang disusun dengan apik. Padahal di luar layar ponsel kita ada ribuan wajah yang tidak masuk bingkai dan menjalani ketidakadilan sunyi tanpa pernah menyentuh algoritma media sosial.
Fenomena ini menunjukkan adanya bias seleksi yang halus namun mematikan. Hanya kemiskinan yang tampil estetis yang berpeluang mendapatkan belas kasih. Sisanya tenggelam, tak terdengar, tak terlihat. Pertanyaannya, apakah kita menolong karena mereka membutuhkan atau karena kisah mereka berhasil menggerakkan hati lewat estetika yang dikurasi?
Masyarakat modern hidup dalam banjir citra. Setiap hari mata kita dijejali foto, video, dan tulisan yang berlomba memperebutkan perhatian. Dalam konteks kemiskinan, ini melahirkan apa yang dapat disebut sebagai estetika kemiskinan. Gambaran gubuk reyot yang kontras dengan pakaian sekolah rapi, anak kecil yang tersenyum di tengah lumpur, atau lansia renta dengan tatapan kosong menjadi imaji yang memancing simpati instan.
Namun di balik estetika ini, ada pertanyaan yang jarang diajukan. Apakah mereka yang tidak terekam kamera kurang layak mendapat bantuan? Apakah wajah tanpa cerita dramatis berarti hidupnya baik-baik saja?
Bayangkan seorang buruh harian yang bekerja di proyek. Debu pasir mengepul di udara, truk dan alat berat berlalu-lalang, peluh bercampur panas matahari. Di sela istirahat, ia meneguk minuman dingin untuk menghapus haus. Ia tidak punya kisah viral, tidak ada yang memotretnya, dan tidak ada yang menulis kisahnya di media sosial. Namun kebutuhan hidupnya tetap mendesak, anaknya tetap harus sekolah, dan biaya kontrakan tetap harus dibayar.
Kemiskinan seperti ini sering luput dari radar empati digital. Tidak ada drama visual dan tidak ada narasi yang menjual untuk dikampanyekan. Padahal mereka hidup di tepi ketahanan finansial dan mudah sekali tergelincir ke jurang yang lebih dalam.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa empati publik cenderung bersifat reaktif, bukan proaktif. Masyarakat menunggu ada yang mengemas kemiskinan menjadi kisah yang layak viral sebelum bertindak. Dalam konteks ini, bantuan menjadi bersyarat, bukan karena kebutuhan nyata tetapi karena kebutuhan akan narasi.
Lebih jauh, hal ini berkelindan dengan masalah struktural. Banyak orang kaya memberi dengan pola yang tidak mendidik, yaitu memberi tanpa mendorong penerima untuk membangun keterampilan atau kemandirian. Penerima bantuan menjadi pasif, merasa layak menerima hanya karena kekurangan yang mereka miliki tanpa kontribusi timbal balik. Akhirnya kemiskinan menjadi lingkaran yang tak terputus, di mana penerima tetap miskin karena tidak memiliki motivasi untuk menjadi produktif.
Dalam pengalaman banyak orang yang hidup di dua dunia, kemewahan dan kekurangan, ada satu hal yang terlihat jelas. Kondisi miskin menjadi penyeimbang bagi yang kaya. Orang kaya cenderung memberi kepada mereka yang benar-benar tidak mampu, tetapi sering mengharapkan adanya sesuatu yang ditukar seperti waktu, keterampilan, atau usaha.
Masalahnya, sebagian bantuan yang disalurkan hanya menciptakan ketergantungan. Tidak ada dorongan untuk mengubah posisi dari penerima menjadi pemberi. Antrian penyaluran bantuan yang panjang diisi oleh orang-orang yang hanya datang untuk mengambil tanpa rencana memberi kembali. Bukan karena mereka tidak layak dibantu, tetapi karena sistem bantuan itu sendiri tidak membangun mekanisme kemandirian.
Bantuan yang diberikan hanya untuk menghapus rasa bersalah atau sekadar demi citra sama rapuhnya dengan cat tipis di dinding retak. Dalam jangka pendek, ia menutupi masalah. Dalam jangka panjang, retakan itu tetap menganga bahkan melebar.
Kita perlu mengubah paradigma. Bantuan harus menjadi jembatan, bukan kursi malas. Jembatan menuju keterampilan baru, peluang kerja, akses pendidikan, dan dukungan emosional yang menguatkan rasa percaya diri.
Empati sejati tidak membutuhkan narasi yang dipoles. Ia tidak menimbang dari seberapa sedih foto yang kita lihat atau seberapa dramatis kisah yang kita baca. Empati sejati berjalan di jalan sunyi, mencari mereka yang tidak pernah meminta namun membutuhkan.
Hal ini menuntut kita untuk lebih peka terhadap lingkungan terdekat, tidak menunggu informasi datang dari layar ponsel. Sebab yang tidak viral bukan berarti tidak ada. Yang tidak terdengar bukan berarti tidak berteriak.
Menghapus bias seleksi dalam empati berarti mengubah cara kita mencari, menilai, dan menyalurkan bantuan. Ada tiga langkah yang bisa menjadi awal. Pertama, proaktif dengan tidak menunggu kisah viral dan mencari sendiri di sekitar kita, di kampung, di pasar, atau di tempat kerja. Kedua, terukur dengan memastikan bantuan membawa dampak jangka panjang, bukan hanya memadamkan api sesaat. Ketiga, berkelanjutan dengan membangun program yang menumbuhkan kemandirian, bukan sekadar memberi barang atau uang.
Pada akhirnya, pertanyaan yang perlu terus kita bawa adalah apakah kita menolong karena kebutuhan mereka nyata atau karena kisah mereka berhasil menyentuh kita. Jika jawabannya adalah yang kedua, maka kita sedang mengkhianati esensi empati itu sendiri.
Kemiskinan tidak pernah satu warna. Ada yang keras, ada yang samar. Ada yang mudah difoto, ada yang sulit ditemukan. Namun semuanya nyata dan semuanya butuh perhatian.
Kemiskinan yang paling berbahaya adalah kemiskinan yang tidak viral karena ia hidup tanpa sorot kamera, tanpa sorak dukungan, dan tanpa janji bantuan yang pasti datang.
Empati sejati tidak menunggu panggilan dari algoritma. Ia lahir dari kepekaan yang diasah dan dari keberanian untuk melihat yang tak terlihat. Di luar layar ponsel, ada kehidupan yang berjalan di atas benang tipis, menunggu uluran tangan yang tidak memilih wajah. Jika kita mau membuka mata lebih lebar, kita akan menemukan bahwa kemiskinan yang tidak viral pun layak mendapat perhatian yang sama, bahkan mungkin lebih.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI