Masalahnya, sebagian bantuan yang disalurkan hanya menciptakan ketergantungan. Tidak ada dorongan untuk mengubah posisi dari penerima menjadi pemberi. Antrian penyaluran bantuan yang panjang diisi oleh orang-orang yang hanya datang untuk mengambil tanpa rencana memberi kembali. Bukan karena mereka tidak layak dibantu, tetapi karena sistem bantuan itu sendiri tidak membangun mekanisme kemandirian.
Bantuan yang diberikan hanya untuk menghapus rasa bersalah atau sekadar demi citra sama rapuhnya dengan cat tipis di dinding retak. Dalam jangka pendek, ia menutupi masalah. Dalam jangka panjang, retakan itu tetap menganga bahkan melebar.
Kita perlu mengubah paradigma. Bantuan harus menjadi jembatan, bukan kursi malas. Jembatan menuju keterampilan baru, peluang kerja, akses pendidikan, dan dukungan emosional yang menguatkan rasa percaya diri.
Empati sejati tidak membutuhkan narasi yang dipoles. Ia tidak menimbang dari seberapa sedih foto yang kita lihat atau seberapa dramatis kisah yang kita baca. Empati sejati berjalan di jalan sunyi, mencari mereka yang tidak pernah meminta namun membutuhkan.
Hal ini menuntut kita untuk lebih peka terhadap lingkungan terdekat, tidak menunggu informasi datang dari layar ponsel. Sebab yang tidak viral bukan berarti tidak ada. Yang tidak terdengar bukan berarti tidak berteriak.
Menghapus bias seleksi dalam empati berarti mengubah cara kita mencari, menilai, dan menyalurkan bantuan. Ada tiga langkah yang bisa menjadi awal. Pertama, proaktif dengan tidak menunggu kisah viral dan mencari sendiri di sekitar kita, di kampung, di pasar, atau di tempat kerja. Kedua, terukur dengan memastikan bantuan membawa dampak jangka panjang, bukan hanya memadamkan api sesaat. Ketiga, berkelanjutan dengan membangun program yang menumbuhkan kemandirian, bukan sekadar memberi barang atau uang.
Pada akhirnya, pertanyaan yang perlu terus kita bawa adalah apakah kita menolong karena kebutuhan mereka nyata atau karena kisah mereka berhasil menyentuh kita. Jika jawabannya adalah yang kedua, maka kita sedang mengkhianati esensi empati itu sendiri.
Kemiskinan tidak pernah satu warna. Ada yang keras, ada yang samar. Ada yang mudah difoto, ada yang sulit ditemukan. Namun semuanya nyata dan semuanya butuh perhatian.
Kemiskinan yang paling berbahaya adalah kemiskinan yang tidak viral karena ia hidup tanpa sorot kamera, tanpa sorak dukungan, dan tanpa janji bantuan yang pasti datang.
Empati sejati tidak menunggu panggilan dari algoritma. Ia lahir dari kepekaan yang diasah dan dari keberanian untuk melihat yang tak terlihat. Di luar layar ponsel, ada kehidupan yang berjalan di atas benang tipis, menunggu uluran tangan yang tidak memilih wajah. Jika kita mau membuka mata lebih lebar, kita akan menemukan bahwa kemiskinan yang tidak viral pun layak mendapat perhatian yang sama, bahkan mungkin lebih.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI