Mohon tunggu...
Subarkah
Subarkah Mohon Tunggu... Freelance

Suka nulis, suka nonton film, suka baca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anak Bangsa yang Tak Masuk Dalam Statistik

7 Agustus 2025   03:55 Diperbarui: 7 Agustus 2025   03:55 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Larm Rmah di Unsplash 

Artikel reflektif tentang anak-anak korban konflik, kemiskinan, dan pengabaian negara yang tak tercatat dalam data pembangunan, membongkar ketimpangan sosial yang disembunyikan oleh statistik.

Di malam yang ramai oleh lalu-lalang kendaraan, ketika bulan menggantung penuh di langit, kita duduk bersama pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung selesai. Di luar sana, anak-anak tumbuh tanpa nama, tanpa angka, tanpa catatan. Mereka hidup di sela-sela kebisingan, dalam celah-celah yang tak pernah disorot kebijakan. Bukan karena mereka tak ada, tetapi karena kita tak cukup melihat. Tulisan ini bukan tentang solusi, bukan pula dakwaan. Ini adalah ajakan untuk menengok wajah-wajah kecil yang tak pernah tumbuh dalam statistik, dan mungkin tak pernah tumbuh dalam kesadaran kita.

Di tengah peta kota yang terang, di antara data pembangunan yang terus dipoles, ada anak-anak yang tak pernah disebut namanya. Mereka tak tercantum dalam grafik pertumbuhan, tak masuk dalam daftar prioritas kebijakan, dan tak menjadi bagian dari narasi "masa depan bangsa". Mereka tumbuh dalam sunyi, berjalan di trotoar kelam statistik, dan mengendap dalam bayang kota yang riuh namun abai.

Mereka adalah anak-anak yang lahir dari tubuh-tubuh yang lelah, dari relung-relung yang kosong, dari hubungan tanpa arah, dari nafsu yang dilepaskan tanpa tanggung jawab. Setelah itu, mereka dibuang. Bukan secara fisik, tetapi secara sosial. Mereka ditinggalkan, dibiarkan, dan jika pun dipelihara, itu seadanya, tanpa penerimaan yang utuh.

Ada anak-anak yang bahkan tak tahu siapa ayah atau ibunya. Ada yang tinggal di lorong sempit, bersama kardus dan sisa makanan. Ada pula yang lahir dari keluarga cukup, bahkan mapan, namun dibesarkan dalam kekosongan emosi. Mereka diserahkan sepenuhnya kepada sekolah, kepada gawai, kepada sistem, dan kepada apa pun, asal bukan kepada hati orang tua.

Dan mereka, anak-anak ini, tak tercatat dalam laporan resmi. Mereka tak disebut dalam pidato pembangunan. Mereka tak mewakili apa-apa kecuali kegagalan yang kita sembunyikan bersama.

Apakah mereka benar-benar tidak ada? Ataukah kita yang tidak pernah benar-benar ingin melihat?

Dalam bayangan malam kota yang terus hidup, aku duduk menyaksikan lalu-lalang kendaraan yang berlari kencang. Suaranya seperti denting waktu yang terlalu tergesa. Di salah satu sudut, aku melihat seorang anak laki-laki tertidur memeluk tas plastik. Entah apa isinya. Mungkin bukan barang berharga, tetapi mungkin itulah seluruh hidupnya. Ia tidak terlihat gelisah. Justru aku yang mendadak merasa kecil.

Ada rasa perih yang tidak bisa dijelaskan, seolah tubuh mungil itu menyuarakan luka kolektif yang kita bisukan terlalu lama.

Banyak dari mereka yang disebut sebagai anak jalanan, anak anjal, atau anak gagal sistem. Tapi siapa yang membuat sistem itu? Siapa yang membentuk jalan yang hanya bisa dilalui sebagian anak? Mengapa sebagian lainnya jatuh bahkan sebelum sempat belajar berjalan?

Kita terlalu cepat menilai dan terlalu lambat memahami. Kita gemar menghitung angka tetapi lupa menengok wajah. Data pendidikan mencatat persentase anak sekolah, tetapi tidak pernah mencatat anak yang kehilangan semangat hidup sejak usia tujuh tahun. Grafik gizi nasional menampilkan tren perbaikan, tetapi tidak menampilkan wajah anak yang terbiasa menahan lapar sebagai hal yang wajar.

Dan bagaimana dengan mereka yang tidak pernah didaftarkan ke sekolah? Tidak pernah diimunisasi? Tidak pernah masuk dalam daftar penerima bantuan? Mereka yang tidak memiliki akta kelahiran, atau bahkan nama resmi? Apakah mereka bagian dari bangsa ini? Ataukah mereka hanya bayangan-bayangan kecil yang sesekali lewat di persimpangan, lalu kita lupakan?

Aku teringat pengalaman sederhana, namun menghantam dalam. Seorang anak yang usianya baru lima tahun, ditinggal ibunya pergi entah ke mana. Ayahnya tidak dikenal. Anak itu diasuh neneknya yang sudah setengah pikun. Tidak ada surat-surat resmi. Tidak ada catatan sekolah. Ketika aku tanyakan apa cita-citanya, ia hanya menjawab pelan: ingin makan enak dan tidur di kasur.

Begitu sederhana, tetapi juga begitu jauh dari jangkauan mereka.

Di sisi lain, anak-anak dari keluarga berada punya segalanya, kecuali perhatian. Mereka dititipkan pada lembaga, pada jadwal padat, pada aturan-aturan kaku yang tidak memberi ruang untuk salah. Mereka tumbuh dengan tubuh yang cukup, namun hati yang lapar. Banyak dari mereka kelak mencari cinta dan pengakuan di tempat yang salah. Mereka akhirnya terjerumus pada lingkaran yang sama, menjadi pelaku pengabaian karena pernah menjadi korban diam-diam.

Jika semua anak adalah aset bangsa, mengapa ada yang tidak pernah dihitung? Jika pendidikan adalah hak setiap anak, mengapa ada yang tidak pernah punya kesempatan belajar? Jika negara hadir untuk melindungi yang lemah, mengapa justru yang paling lemah seringkali paling mudah diabaikan?

Apakah karena mereka tidak cukup menarik untuk dijadikan bahan kampanye? Apakah karena mereka tidak bersuara cukup lantang untuk menuntut hak? Ataukah karena keberadaan mereka mengganggu narasi besar kita tentang kemajuan?

Di malam yang disinari purnama, aku mencoba menuliskan ini tanpa amarah, tanpa menyudutkan siapa pun. Karena sesungguhnya, yang paling perlu kita hadapi bukanlah siapa yang salah, tetapi siapa yang belum cukup peduli.

Menulis tentang anak-anak ini seperti memungut suara dari dasar sumur yang tidak terlihat. Perih, sunyi, namun nyata. Dan seperti sumur, semakin dalam kita menengok, semakin kita sadar betapa banyak yang tidak kita ketahui.

Kadang, solusi bukanlah membangun lebih banyak sekolah. Bukan pula menambah subsidi atau program baru. Kadang, yang dibutuhkan hanyalah mengakui bahwa mereka ada. Bahwa mereka hidup. Bahwa mereka bukan angka. Mereka adalah manusia, kecil, rapuh, tetapi tetap manusia.

Jika hari ini kita bisa melihat mereka, meski hanya satu, dan memberi ruang dalam kesadaran kita, mungkin itu awal dari perubahan. Bukan perubahan kebijakan, tetapi perubahan batin. Perubahan cara kita memandang dunia. Bukan dari tengah ke pinggir, melainkan dari pinggir ke tengah.

Karena mungkin, dunia yang adil bukanlah dunia yang berhasil mencatat semuanya, melainkan dunia yang tidak membiarkan satu anak pun merasa tak dicatat.

Setelah membaca semua ini, barangkali tidak banyak yang bisa langsung kita lakukan. Namun mungkin ada satu hal kecil yang bisa kita rawat mulai hari ini, yaitu kesediaan untuk melihat. Melihat bukan hanya dengan mata, tetapi juga dengan hati yang tak lagi menutup pintu bagi mereka yang terpinggirkan. Kita mungkin tidak bisa mengubah nasib semua anak yang dilupakan, tetapi kita bisa menolak menjadi orang yang melupakan mereka.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun