Kita terlalu cepat menilai dan terlalu lambat memahami. Kita gemar menghitung angka tetapi lupa menengok wajah. Data pendidikan mencatat persentase anak sekolah, tetapi tidak pernah mencatat anak yang kehilangan semangat hidup sejak usia tujuh tahun. Grafik gizi nasional menampilkan tren perbaikan, tetapi tidak menampilkan wajah anak yang terbiasa menahan lapar sebagai hal yang wajar.
Dan bagaimana dengan mereka yang tidak pernah didaftarkan ke sekolah? Tidak pernah diimunisasi? Tidak pernah masuk dalam daftar penerima bantuan? Mereka yang tidak memiliki akta kelahiran, atau bahkan nama resmi? Apakah mereka bagian dari bangsa ini? Ataukah mereka hanya bayangan-bayangan kecil yang sesekali lewat di persimpangan, lalu kita lupakan?
Aku teringat pengalaman sederhana, namun menghantam dalam. Seorang anak yang usianya baru lima tahun, ditinggal ibunya pergi entah ke mana. Ayahnya tidak dikenal. Anak itu diasuh neneknya yang sudah setengah pikun. Tidak ada surat-surat resmi. Tidak ada catatan sekolah. Ketika aku tanyakan apa cita-citanya, ia hanya menjawab pelan: ingin makan enak dan tidur di kasur.
Begitu sederhana, tetapi juga begitu jauh dari jangkauan mereka.
Di sisi lain, anak-anak dari keluarga berada punya segalanya, kecuali perhatian. Mereka dititipkan pada lembaga, pada jadwal padat, pada aturan-aturan kaku yang tidak memberi ruang untuk salah. Mereka tumbuh dengan tubuh yang cukup, namun hati yang lapar. Banyak dari mereka kelak mencari cinta dan pengakuan di tempat yang salah. Mereka akhirnya terjerumus pada lingkaran yang sama, menjadi pelaku pengabaian karena pernah menjadi korban diam-diam.
Jika semua anak adalah aset bangsa, mengapa ada yang tidak pernah dihitung? Jika pendidikan adalah hak setiap anak, mengapa ada yang tidak pernah punya kesempatan belajar? Jika negara hadir untuk melindungi yang lemah, mengapa justru yang paling lemah seringkali paling mudah diabaikan?
Apakah karena mereka tidak cukup menarik untuk dijadikan bahan kampanye? Apakah karena mereka tidak bersuara cukup lantang untuk menuntut hak? Ataukah karena keberadaan mereka mengganggu narasi besar kita tentang kemajuan?
Di malam yang disinari purnama, aku mencoba menuliskan ini tanpa amarah, tanpa menyudutkan siapa pun. Karena sesungguhnya, yang paling perlu kita hadapi bukanlah siapa yang salah, tetapi siapa yang belum cukup peduli.
Menulis tentang anak-anak ini seperti memungut suara dari dasar sumur yang tidak terlihat. Perih, sunyi, namun nyata. Dan seperti sumur, semakin dalam kita menengok, semakin kita sadar betapa banyak yang tidak kita ketahui.
Kadang, solusi bukanlah membangun lebih banyak sekolah. Bukan pula menambah subsidi atau program baru. Kadang, yang dibutuhkan hanyalah mengakui bahwa mereka ada. Bahwa mereka hidup. Bahwa mereka bukan angka. Mereka adalah manusia, kecil, rapuh, tetapi tetap manusia.
Jika hari ini kita bisa melihat mereka, meski hanya satu, dan memberi ruang dalam kesadaran kita, mungkin itu awal dari perubahan. Bukan perubahan kebijakan, tetapi perubahan batin. Perubahan cara kita memandang dunia. Bukan dari tengah ke pinggir, melainkan dari pinggir ke tengah.