Artikel reflektif tentang bagaimana praktik filantropi sering dipertontonkan demi pencitraan, menyoroti batas tipis antara ketulusan dan kebutuhan akan pengakuan sosial di era media digital.
Di balik setiap unggahan kebaikan di media sosial, sering tersembunyi pertanyaan yang tidak terucap. Untuk siapa sebenarnya kebaikan itu dilakukan? Apakah demi membantu sesama atau demi terlihat peduli? Ketika kamera mulai mendikte cara kita menolong, dan saat likes menjadi mata uang moral, maka sudah saatnya kita bertanya ulang: apakah kebaikan masih setulus dulu? Atau kini ia menjadi panggung baru bagi citra yang dirancang rapi?
Ada masa ketika kebaikan berjalan diam-diam. Ia tidak membawa kamera, tidak menunggu tepuk tangan, dan tidak berharap namanya disematkan dalam narasi heroik. Namun zaman telah berubah. Sekarang, kebaikan datang bersama caption, dibingkai dengan sudut pengambilan gambar terbaik, dan diberi latar musik yang menyentuh agar lebih menggugah hati pemirsa. Kebaikan yang dulu bersahaja kini terdengar terlalu nyaring.
Media sosial menciptakan ritual sosial baru, yaitu kebaikan yang dipertontonkan. Seseorang memberi sembako, lalu mengambil beberapa foto, satu dengan paket bantuan, satu bersama penerima, dan satu saat menyerahkan bantuan tersebut. Kamera menjadi saksi utama. Bahkan kadang penerima bantuan hanya dijadikan latar belakang dari narasi utama, yaitu si pemberi.
Kamera itu seakan lapar. Bukan lapar makanan, tetapi lapar impresi. Lapar validasi. Dan yang paling mudah untuk menarik perhatian publik adalah kebaikan. Karena kebaikan, ketika dikemas dengan narasi yang menarik, bisa membentuk citra, membangun branding, dan memperkuat posisi sosial seseorang di mata publik.
Namun di balik panggung ini, sering tersembunyi kesunyian makna. Kita jarang bertanya bagaimana perasaan mereka yang direkam. Apakah mereka merasa dihargai atau justru merasa dipermalukan? Apakah bantuan yang mereka terima lebih berat nilainya dibanding beban rasa yang datang bersamanya?
Berbuat baik bukanlah perkara sepele. Ia merupakan pancaran batin yang tulus. Namun saat niat baik itu digunakan untuk membangun citra, nilai moralnya menjadi goyah. Kebaikan berubah menjadi semacam transaksi sosial. Aku membantumu, dan sebagai gantinya aku tampil sebagai sosok baik di hadapan publik.
Padahal, keikhlasan yang tidak diumbar adalah inti dari kebaikan sejati. Ia tidak merasa berkurang hanya karena tidak diketahui orang lain. Justru karena tidak berniat dikenal, kebaikan itu tumbuh dengan lebih jujur. Namun di dunia yang menilai segalanya dari tampilan luar, keikhlasan semacam itu dianggap tidak efisien.
Dulu orang berkata, "Jika kamu ingin memberi, berilah dengan tangan kananmu tanpa diketahui tangan kirimu." Tetapi hari ini, bukan hanya kedua tangan yang tahu, bahkan dunia ikut mencatat, membagikan, dan mengomentari.
Banyak aksi derma yang memang membantu secara nyata. Tidak semua dokumentasi adalah palsu. Namun saat yang ditonjolkan adalah penderitaan orang lain dalam bentuk video dramatis, dengan narasi yang diarahkan agar si pemberi terlihat mulia, maka ada sesuatu yang patut dikritisi.
Merekam seseorang menangis karena lapar, memperlihatkan wajah mereka saat menerima bantuan, dan menjadikan momen itu sebagai tontonan publik demi mendapatkan perhatian adalah bentuk eksploitasi. Penderitaan dijadikan alat untuk membangun citra sosial.
Branding kebaikan adalah permainan yang rumit. Ia bisa menjadi jalan manipulatif yang menjadikan penderitaan sebagai alat, bukan sebagai alasan. Saat yang diberi bantuan menjadi objek konten, maka empati digantikan oleh kebutuhan akan eksistensi digital.
Ada pertanyaan-pertanyaan sunyi yang terus mengendap dalam benak kita. Apakah kebaikan masih bermakna jika sorotannya lebih keras daripada penderitaan yang ingin diselesaikan? Apakah berbagi tetap mulia ketika niat utamanya adalah agar terlihat baik, bukan menjadi baik? Di tengah dunia yang haus validasi, bagaimana kita membedakan ketulusan dengan kebutuhan akan impresi publik?
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini tidak membutuhkan jawaban instan. Tapi kita wajib membawanya ke dalam kesadaran sehari-hari. Supaya tindakan baik tidak kehilangan ruhnya. Supaya mereka yang menerima bantuan tidak merasa menjadi tontonan yang harus bersyukur di depan kamera.
Saya pernah memberikan sesuatu kepada orang lain. Bukan karena saya lebih mampu, tapi karena saya merasa itu hal yang bisa saya lakukan. Dari pengalaman itu saya belajar bahwa kebaikan memang membawa dampak, baik bagi penerima maupun pemberi. Namun saya juga belajar satu hal penting, bahwa kebaikan tidak perlu diumumkan untuk menjadi bermakna.
Kita bisa menolong sesuai kemampuan. Kita bisa memberi tanpa memaksa diri hanya karena ingin dianggap baik oleh orang lain. Jangan menjadikan kebaikan sebagai ajang menebus ego, sebab kebaikan yang lahir dari rasa terpaksa atau niat tersembunyi akan cepat layu. Sementara kebaikan yang jujur, meskipun kecil dan tanpa nama, akan tumbuh menjadi akar kebaikan dalam hidup banyak orang.
Mungkin sudah waktunya kita belajar menutup panggung yang berlebihan itu. Memberi ruang bagi kebaikan untuk berjalan tenang, tanpa perlu sorotan dan pujian. Kita bisa menolong tanpa menunjukkan. Kita bisa hadir tanpa harus ditonton.
Dokumentasi bukan hal yang salah, namun tanyakan pada diri sendiri sebelum menekan tombol rekam. Untuk siapa ini dilakukan? Untuk membantu atau untuk terlihat? Untuk menolong atau untuk dikenal sebagai penolong?
Di tengah dunia yang terlalu sibuk tampil, mereka yang diam-diam berbuat baik justru menjadi suara paling jujur yang masih tersisa dalam kemanusiaan.
Kebaikan sejati tidak membutuhkan panggung untuk berarti. Ia cukup hidup dalam tindakan yang tulus, dalam niat yang jernih, dan dalam kesunyian yang penuh kasih. Di balik segala keramaian digital yang membingkai derma, barangkali dunia sedang menunggu satu jenis kebaikan baru, yaitu kebaikan yang tidak ingin dikenal tetapi sungguh ingin menolong.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI