Mohon tunggu...
Subarkah
Subarkah Mohon Tunggu... Freelance

Suka nulis, suka nonton film, suka baca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Banyak Anak Tidak Otomatis Banyak Rezeki

28 April 2025   23:11 Diperbarui: 28 April 2025   23:11 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pagi itu cerah. Kopi hitam mengepul pelan di meja, sementara dari luar jendela, aroma tanah basah setelah hujan semalam menguar lembut. Aku duduk diam, membiarkan pagi yang cerah mengalir perlahan, sementara pikiranku terantuk pada satu kalimat yang sudah sering sekali kudengar: "Banyak anak banyak rezeki."

Kalimat itu seperti warisan turun-temurun --- diucapkan penuh keyakinan, diulang dalam nasihat, diselipkan di pengajian. Tapi hari ini, ketika dunia berputar begitu cepat, aku mulai bertanya: Benarkah semudah itu?

Setiap anak memang membawa berkatnya sendiri. Ada cinta yang pelan-pelan tumbuh di sela hari, ada pelajaran hidup yang nilainya tak bisa dibayar dengan gaji berapa pun. Tapi kalau sudah bicara soal rezeki---soal perut yang harus diisi dan hidup yang harus terus jalan---ceritanya jadi lain, rasanya tidak cukup hanya mengandalkan harapan.

Di dunia yang serba kompetitif ini, dengan harga kebutuhan pokok yang terus naik, lapangan kerja yang makin ketat, dan skill yang makin mahal, apakah hanya dengan menambah jumlah anak, otomatis rezeki bertambah?

Pertanyaan itu membawaku kembali ke sebuah malam lama, ke obrolan ringan yang dipenuhi tawa canggung dan kerutan dahi, yang dulu terasa sepele tapi kini terasa begitu berarti.

 Banyak ustadz dan tokoh agama yang sering mengutip kalimat tersebut, mungkin untuk membangun optimisme. Tapi hidup, aku kira, bukan sekadar tentang keberanian menambah tanggung jawab.

Hidup adalah soal kesiapan.

Keterampilan perlu ditingkatkan.

Kemampuan perlu dilatih.

Wadah rezeki perlu diperbesar.

Kalau kita tetap di titik yang sama --- dengan skill yang itu-itu saja, cara berpikir yang itu-itu saja --- lalu berharap rezeki melimpah hanya karena keluarga membesar, bukankah itu sama saja seperti menunggu keajaiban tanpa persiapan?

Sementara itu, dunia di luar sana tidak menunggu.

Aku teringat malam itu, duduk berhadap-hadapan dengan teman lama yang baru saja menyambut anak ketiganya, matanya penuh cahaya harapan, tapi suaranya berat, seolah ada beban yang tak sempat diucapkan. Wajahnya cerah, tapi ada bayangan kelelahan yang tak bisa ia sembunyikan.

Aku bertanya, setengah bercanda, "Kamu masih percaya banyak anak banyak rezeki?"

Ia tersenyum, agak getir.

"Dulu percaya. Sekarang... aku tahu rezeki memang ada. Tapi harus dijemput. Harus diperjuangkan."

Jawaban itu membekas.

Malam itu aku sadar, rezeki bukan soal angka magis.

Rezeki adalah tentang kapasitas.

Kalau wadah kita kecil, bagaimana mungkin kita bisa menampung banyak air?

Anak-anak memang anugerah, tapi mereka juga amanah.

Mereka butuh ruang untuk tumbuh. Butuh pendidikan. Butuh kesehatan.

Dan semua itu... tidak gratis.

Semua itu butuh usaha nyata, bukan sekadar keyakinan kosong.

Lalu, aku menengok dunia hari ini.

Teknologi berkembang. Gaya hidup berubah.

Dulu, mungkin cukup bertani dengan alat sederhana; sekarang, bahkan petani harus paham teknologi drone dan data.

Dulu, membuka warung di depan rumah sudah cukup; sekarang, persaingan datang dari aplikasi-aplikasi raksasa.

Dalam dunia seperti ini, bertambahnya jumlah anak berarti bertambahnya kebutuhan.

Kalau skill mandek, pikiran sempit, dan keberanian mencoba hal baru lenyap, jangan heran kalau rezeki malah makin malu-malu mendekat

Ini bukan tentang takut memiliki banyak anak.

Bukan itu.

Ini tentang bertanya dengan jujur:

Sudahkah kita membangun kapasitas diri seiring bertambahnya amanah yang kita terima?

Banyak anak memang bisa menjadi sumber rezeki.

Bisa.

Tapi tidak otomatis.

Rezeki harus dijemput.

Dengan belajar. Dengan meningkatkan keterampilan. Dengan memperbesar wadah rezeki yang kita punya.

Bahkan keterampilan sederhana --- seperti memahami pemasaran digital, mengelola keuangan rumah tangga, atau sekadar sabar mendengar --- bisa menjadi pembuka jalan.

Dunia ini, lebih dari sebelumnya, menghargai mereka yang mau terus belajar dan siap berubah.

Mungkin memang sudah saatnya kita menggeser cara berpikir.

Daripada bertanya, "Banyak anak, banyak rezeki?",

lebih jujur kalau kita bertanya: "Apakah kapasitas kita sudah cukup untuk menampung semua itu?"

Karena anak-anak bukan cuma butuh tangan yang melahirkan mereka, tapi juga butuh hati dan tekad yang siap menyiapkan jalan panjang di depan mata mereka.

Pagi semakin tinggi.

Matahari memenuhi ruang tamu dengan cahayanya yang hangat.

Aku menghabiskan sisa kopi yang mulai dingin, sambil membisikkan sesuatu pada diriku sendiri --- sesuatu yang kelak ingin aku wariskan pada anak-anakku:

"Banyak anak memang membawa banyak berkah. Tapi rezeki harus dijemput. Bukan hanya dengan doa, tapi juga dengan kerja keras, belajar, dan keberanian untuk terus bertumbuh."

Hari ini, sebelum bicara soal menambah anak, mungkin lebih penting bertanya dulu:

"Sudahkah aku memperbesar wadah rezekiku?"

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun