Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan, lima
belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,
Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,
Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat jadi pertunjukan teror
penonton antarkota cuma karena sebagian sangat kecil
bangsa kita tak pernah bersedia menerima skor
pertandingan yang disetujui bersama,
Di negeriku rupanya sudah diputuskan kita tak terlibat Piala
Dunia demi keamanan antarbangsa, lagi pula Piala
Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil karena Cina,
India, Rusia dan kita tak turut serta, sehingga cukuplah
Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,
Di negeriku ada pembunuhan, penculikan dan penyiksaan rakyat
terang-terangan di Aceh, Tanjung Priuk, Lampung, Haur
Koneng, Nipah, Santa Cruz, Irian dan Banyuwangi, ada pula
pembantahan terang-terangan yang merupakan dusta
terang-terangan di bawah cahaya surya terang-terangan,
dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai
saksi terang-terangan,
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam
kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di
tumpukan jerami selepas menuai padi. -Â (Taufik Ismail "Malu Aku Jadi Orang Indonesia")
Puisi di atas mencerminkan gambaran bangsa Indonesia yang seolah-olah tidak memiliki norma walaupun di sekolah diajarkan agama. Diajarkan hal-hal yang berkaitan dengan kebangsaan dan kemanusiaan.
Tetapi, semua itu tidak memberi bekas pada anak didik. Entah siapa yang bisa disalahkan, anak didiknya atau memang gurunya ketika melakukan pembelajaran tidak benar-benar ikhlas.
Boleh juga seperti yang disampaikan WS Rendra tentang pendidikan kita yang lebih ditekankan pada kepatuhan daripada bertukarpikiran. Lebih cenderung menghafal bukan belajar menganalisis suatu keadaan. Tidak belajar tentang keadilan dan hal-hal yang berkaitan dengan pengetahuan seputar perilaku manusia.Â
Minim untuk melakukan diskusi yang berkaitan dengan keadilan karena persepsi mereka (kaum pendidik) mendiskusikan masalah-masalah keadilan sebagai hal yang tabu.
Wajar-wajar saja kalau anak didik kita gamang. Dia kalau berhadapan dengan berbagai masalah yang muncul di hadapannya tidak punya kemampuan untuk mensitesiskan atau menghubung-hubungi satu dengan yang lainnya.Â