Mohon tunggu...
Yoanda Suastanti
Yoanda Suastanti Mohon Tunggu... Buruh - saya

selalu ada jalan untuk orang-orang yang masih menggenggam harapan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bacaan Liar dan Balai Pustaka

8 Mei 2020   14:32 Diperbarui: 8 Mei 2020   15:01 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Begitu pula bentuknya yang Sembilan-seuntai bukanlah bentuk yang lazim dalam sastra Melayu. Tahun 1928 Yamin menerbitkan kumpulan sajaknya, berjudul Indonesia, Tumpah Darahku. 

Penerbitan ini bertepatan pula dengan Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda. Selain menulis sajak, ia pun banyak menulis drama yang berlatarbelakang sejarah, diantaranya Ken Angrok dan Ken Dedes (1934) dan Kalau Dewi Tiara Sudah Berkata ...(1932).

Penyair yang sejaman dengan Yamin ialah Roestam, ia menulis dua buah buku yaitu Bebasari (1924) dan Percikan Permenungan (1926). Bebasari merupakan sebuah drama-bersajak, yang barangkali kurang menarik dan sulit dimainkan di panggung. Tetapi memang mungkin bukan itu maksud pengarangnya. Bahwa drama ini merupakan sebuah perlambangan atau simbolisme dari cita-cita pengarangnya, yang terlihat dari judul yang mengandung kata bebas. 

Dari segi sejarah Indonesia buku ini penting karena merupakan sandiwara pertama yang ditulis dalam Bahasa Indonesia dalam bentuk sajak. Buku Percikan Perenungan merupakan kumpulan sajak yang merupakan percobaan berani yang dilakukan Roestam Effendi dalam menunlis puisi Indonesia yang sedapat mungkin lepas dari tradisi sastra Melayu. Meskipun demikian, dalam sajaknya masih kita kenal pengaruh irama dan bentuk pantun serta syair.

Selanjutnya ialah Sanusi Pane yang mula-mula menulis sajak-sajak yang dimuat dalam majalah-majalah baik di Jakarta maupun Padang. Bukunya yang pertama merupakan kumpulan  prosa lirik yang berjudul Pancara Cinta (1926), kemudian kumpulan sajak Puspa Mega (1927) , kumpulan sajak ini hampir seluruhnya berbentuk soneta. 

Ada lima buah drama yang ditulisnya dua di antaranya ditulis dalam Bahasa Belanda  yaitu, Airlangga (1928), Enzeme Garoedanvlucht (1930), yang ditulis dalam Bahasa Indonesia  ialah Kertajaya (1932), Sadhayakala ning Majapahit (1933). Drama yang terakhir ditulis ialah Manusia Baru (1940) yang merupakan satu-satunya drama yang ditulis oleh Sanusi Pane yang mengambil masyarakat modern sebagai tempat berlakunya cerita. Tetapi itu pun tidak terjadi di Indonesia melainkan di India.

SUMBER :

Rosidi Ajip, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. 2013

Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun