Mohon tunggu...
wacana_rakyat
wacana_rakyat Mohon Tunggu... Lainnya - Belajar
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Belajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kurikulum adalah Jarak Tempuh

21 Agustus 2022   11:20 Diperbarui: 21 Agustus 2022   20:23 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari pengertian kurikulum yang sudah saya jelaskan diatas, saya lebih tertarik mendefenisikan kurikulum sebagai jarak tempuh. Hal ini karena mudah kita pahami, bahwa kurikulum hanyalah landasan agar seseorang mencapai tujuan (finish). Kalau di ibaratkan kurikulum itu jalan atau landasan untuk mencapai suatu tujuan. 

Sebagai contoh jarak dari kota A ke kota B memerlukan waktu 3 jam dan peserta didik diibaratkan adalah kendaraan. Sama halnya karakter siswa bahwa kendaraan ini sifatnya umum, ada motor, mobil, kereta, pesawat, becak, dan lain sebagainya. Masing-masing kendaraan tersebut tentu memiliki karakteritiknya masing-masing sama halnya seperti peserta didik. Kendaraan tersebut bukan saja pasti berbeda, secara fisik secara dan kapasitas ia berbeda. Sama-sama motorpun pasti memiliki CC yang berbeda-beda. Ada yang 110 CC seperti motor legenda, ada yang 150 CC seperti RX King dan lain sebagainya. 

Sebetulnya sama halnya dengan peserta didik, mereka memiliki karakter fisik dan kapasitas yang berbeda-beda. Kembali pada tadi, umpamanya motor lebih cepat sampai ke kota A dibandingkan dengan becak, kalau motor menempuhnya hanya 3 jam umpamanya, sedangkan becak sampai berjam-jam. Itulah peserta didik makanya jangan heran jika di sekolah terkadang ada yang tidak naik kelas, atau di kampus yang tidak lulus tepat waktu. Sebetulnya banyak faktor, begitu juga kurikulum dalam pendidikan. 

"Ing ngarso sung tulodho, ing madya wangun karso, tut wuri handayani," yaitu "didepan memberi contoh, ditengah memberi semangat (motivasi) dan di belakang memberikan dorongan," demikian kata KH Dewantara tokoh pendidikan kita. Filosofi ini telah mengambarkan betapa rumitnya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, tapi filosofi pendidikan ini mengajarkan agar kita selalu menjadi figur dalam mendidik generasi bangsa. 

Selanjutnya, masuk pada pembahasan kita, sesuai dengan pengertian kurikulum tadi bahwa "kurikulum adalah jarak tempuh" maka untuk menemukan titik temu antara kurikulum dan pendidikan pertama-tama kita perlu menemukan apa yang menjadi tujuan utama dalam pendidikan itu.  Tujuan kita kemana,? Jakarta kah? Bogor? Singapura? Amerika? atau kemana?

Tentu ketika kita bertanya apa tujuan pendidikan Indonesia, maka jawabanya tertuang dalam Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang secara garis besar agar peserta didik memiliki pengetahuan, keterapilan dan sikap atau kepribadian. 


Itulah garis besar tujuan pendidikan kita, yang dalam bahasa ilmiahnya agar peserta didik memiliki kecerdasan intelektal, emosional dan spiritual serta dapat mengamalkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, saya rasa singkatnya seperti itu. Kemudian bagaimana untuk mencapai tujuan itu? 

Jawabannya tentu melalui pendidikan. Nah di dalam sistem pendidikan nasional Indonesia tersebut juga diatur bahwa pendidikan itu dibagi menjadi pendidikan formal, informal, dan nonformal. Ini adalah bentuk pendidikan, artinya pendidikan di Indonesia boleh dilakukan didalam lembaga dan diluar lembaga pendidkkan. 

Pertanyaanya apakah selama ini pendidikan kita belum merdeka? sebetulnya pendidikan kita sudah merdeka, tapi kenapa menteri pendidikan menggantinya dengan istilah kurikulum merdeka, hal ini karena pemerintah menurut saya ingin mepertegas agar amanat undang-undang bisa dimaknai sebagaimana mestinya, maka hanya kurikulum doang toh yang dirubah sedangkan konstitusinya belum. 

Ya, secara konsitusional kurikulum kita sebetulnya sudah merdeka, tapi yang membuat pendidikan kita tidak merdeka adalah proses pelaksanannya atau implementasinya. Sebagai contoh banyak dosen yang masih gagap bahwa pendidikan diluar itu tidak begitu penting sehingga dari pada mengikuti seminar, pelatihan, dialog publik dan lain sebagainya lebih baik masuk kuliah dan mengikuti pelajaran bersamanya di dalam kampus. "Kalau tidak mengikuti kuliah dengan saya, maka saya anggap tidak hadir," katanya.

Inilah yang menurut saya bahwa sejak awal pendidikan kita tidak merdeka bukan secara konstitusional atau kebijakannya, tetapi praktek pendidikan kitalah yang masih bersifat menjajah (belum merdeka). Peserta didik terlalu dikekang oleh guru atau dosennya. Guru seolah hanya satu-satunya sumber ilmu pengetahuan bagi peserta didik dan guru selalu benar, sehingga tidak boleh diabantah. Budaya seperti inilah yang membuat pendidikan kita sulit berkembang, pengetahuan lemah dan nalar kritis yang kosong.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun