Mohon tunggu...
Wadi Suaedi
Wadi Suaedi Mohon Tunggu... profesional -

Menulis untuk belahan jiwa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mensikapi Caleg Pasca Pileg

15 April 2014   22:41 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:38 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada sistem demokrasi Pancasila, hak rakyat untuk mengambil keputusan secara langsung terwujud pada pemilihan presiden, kepala daerah, dan anggota legislatif. Suara rakyat yang menentukan presiden dan kepala daerah. Rakyat pula yang memilih wakilnya untuk duduk di lembaga legislatif. Suatu hak yang luar biasa istimewanya.

Proses demokrasi baru saja kita lalui. Hak rakyat dalam pengambilan kebijakan pembangunan telah diserahkan ke wakil rakyat melalui pemilihan legislatif (Pileg). Kewajiban kita semua adalah mengawal proses selanjutnya agar hasil pileg ini bersih, jujur, adil, dan terpercaya. Pemenang dari pesta demokrasi ini adalah rakyat. Rakyat telah menggunakan kekuasaannya menentukan siapa yang menjadi wakilnya 5 tahun ke depan.

Pileg kita ketahui sebagai ajang ‘perebutan’ kursi dewan melalui perolehan suara pemilih. Tentu saja ada yang mendapat jatah kursi dewan adapula yang tidak mendapatkannya. Berdasarkan penetapan KPU tentang caleg dan jumlah kursi, bahwasanya sekitar 7-10 caleg yang akan memperebutkan 1 kursi. Artinya ada 6-9 lainnya tidak dapat kursi alias akan menjadi caleg gagal.

Efek pileg terhadap para caleg menarik untuk dicermati. Ada (tidak semua) caleg gagal cenderung menunjukkan perilaku yang berbeda pasca pileg. Sikap ini kadang bertolak belakang dengan sikap sebelum pileg (masa kampanye). Diantaranya ada yang meminta kembali harta yang telah diberikan kepada orang lain, ada yang memutuskan hubungan silaturahmi bahkan ada yang memutuskan jaringan distribusi sembako. Ada pula yang kemudian malu bergaul dengan keluarga dan kerabat, semangat hidupnya menjadi surut, galau hingga kebahagiaannya terenggut.

Sikap dan perilaku para caleg selama masa kampanye sesungguhnya adalah sikap pejuang. Para caleg tentu telah banyak menjalin silaturahmi. Rasa persaudaraan lebih dekat, menjadi lebih akrab. Ada yang sebelumnya kita tidak tahu bahwa mereka keluarga kita, namun pada masa ini akhirnya mereka memperkenalkan diri kepada kita bahwa kita ini keluarga, kita ini saudara. Dari sudut pandang agama tentu ini adalah perbuatan baik, membangun silaturahmi. Dari sudut pandang bisnis, ini juga sangat baik, terjalinnya jaringan (networking) dan kerjasama yang makin meluas. Rasa keakraban dan silaturahmi ini perlu terus dipertahankan, terutama bagi mereka yang gagal jadi anggota dewan.

Pada proses pileg tentu saja ada biaya yang dikeluarkan. Biaya ini bersumber dari berbagai aset yang dimiliki para caleg, baik yang bergerak maupun aset yang tidak bergerak. Pemanfaatan dan pemberdayaan aset ini telah mendorong tumbuhnya ekonomi wilayah. Tentu saja kita semua telah menerima manfaat dari kemajuan ekonomi wilayah ini. Hal inipun patut kita syukuri.

Begitu banyak peran para caleg dalam kehidupan kita selama proses pileg. Untuk itu sepatutnya kita menjadi sahabat terbaik bagi caleg khususnya para caleg gagal. Hargailah niat baik caleg ini. Mereka telah berjuang menjadi wakil kita di legislatif. Jika mereka berhasil, tentu kita yang memperoleh manfaatnya, kita bisa fokus bekerja dan menjalani kehidupan, tanpa harus dibebani pikiran tentang banyak hal dalam kebijakan pembangunan.

Bagaimana bersikap kepada caleg gagal? Tetaplah menjadi sahabat. Apapun kondisinya kita tetap perlu menjadi sahabat bagi mereka. Mungkin kita diabaikan, tapi percayalah bahwa itu hanya sindrom sesaat. Cepat atau lambat akan pulih. Perlakukanlah sebagai seorang pejuang kepentingan rakyat, yang rela berkorban demi kebaikan negeri ini. Sedapat mungkin hindari bertanya tentang dana. Kita tahu bersama bahwa ada dana yang telah dikeluarkan. Mari kita anggap sebagai investasi dan sumbangan.

Bagaimana dengan caleg yang berhasil? Kita sebagai rakyat harus bersyukur dan ikhlas menerima hasil demokrasi dan menyerahkan hak kita kepada siapapun yang memperoleh suara terbanyak. Kesyukuran dan keikhlasan kita seperti ketika mendorong mobil mogok. Sebagai ilustrasi, kalau ada mobil mogok, pemilik mobil berteriak memanggil orang-orang untuk membantu dengan tenaga untuk mendorong mobil hingga kecepatan tertentu. Pemilik duduk di dalam mobil, berharap dapat segera menghidupkan mesin mobil. Begitu mesin mobil hidup, pemilik mobil berhenti sejenak, kadang memberikan tip ala kadarnya, kemudian mengucapkan terimakasih lalu pergi. Kita berharap tidak bertemu lagi dengannya dalam keadaan mobil mogok. Jikapun bertemu kita tidak lagi berharap akan diberikan sesuatu yang sebanding dengan energi dan waktu yang telah kita berikan ketika mobilnya mogok.

Hak telah disalurkan, selanjutnya mari menjalankan kewajiban masing-masing. Yuk!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun