Mohon tunggu...
I Wayan Gede Suacana
I Wayan Gede Suacana Mohon Tunggu... Pembelajar, Pengamat Sosial Budaya, Peminat Yoga Asana dan Meditasi

Mengembangkan literasi lewat tradisi baca tulis untuk aktualisasi diri, serta yoga asana meditasi untuk realisasi diri.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ahimsa (Tanpa Kekerasan): Kasih dalam Pengertian

3 April 2025   17:15 Diperbarui: 3 April 2025   17:32 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Stop Kekerasan (Sumber: Detikcom) 

Ahimsa (Tanpa Kekerasan) berarti menghilangkan penyebab kekerasan terhadap siapapun, baik dengan pemikiran, kata-kata atau perbuatan. Dalam hidup, setiap individu harus mewujudkan cita-cita suci. Gagasan ini harus meresapi seluruh hidup dan tindakan. Segala tindakan berdasarkan pikiran manusia yang menemukan pengejawantahannya dalam bentuk luar sebagai pantulan dari wujud batinnya (Svami Sathya Narayana).

Ahimsa sejatinya mengajarkan, bahwa penyelesaian dengan kekerasan justru akan mengundang kekerasan baru. Menurut Mahatma Gandhi, kekerasan bukannya membebaskan manusia dari beban mentalnya tetapi justru membelenggu dia dan mengungkapkannya dalam kesempitan cinta. Sebaliknya, dengan ahimsa manusia dapat mengembangkan rasa dan kemampuan insani sehingga dapat menemukan diri sendiri sebagai sebuah ciptaannya, hasil kebudayaannya yang merupakan wujud konkrit dari pernyataan dirinya. Dalam ahimsa itu pula termuat sikap etika yang sangat positif terhadap alam. Manusia tidak lagi akan mengeksploatasi alam demi keperluan sendiri, melainkan ia akan menjadi ekosistem sehingga dunia yang dia tempati benar-benar merupakan 'rumah' baginya.

Ilustrasi Hidup Saling Mengasihi (Sumber: Konde.co)
Ilustrasi Hidup Saling Mengasihi (Sumber: Konde.co)
Ahimsa Sebagai Paramo Dharmah

Tanpa kekerasan atau ahimsa dipuji sebagai 'paramo dharmah' yaitu dharma tertinggi dari umat  manusia. Di dalamnya ia juga membawa intisari dari keempat nilai spiritual dasar lainnya dan menyatakan kemenangan jiwa terhadap kekuatan yang berlawanan dalam dunia fisik. Pada bidang praktis, parama dharma ini menjadi parama yoga atau latihan spiritual tertinggi, yang membawa pada penyatuan pribadi dengan Tuhan, yang bermanifestasi dalam semua makhluk. Dalam Bhagavad Gita (VI.32) dinyatakan  "atmaupamyena sarvatra samam pasyati yo 'Arjuna, sukham va yadi dukham sa yogi paramo matah" artinya yogi yang sempurna adalah ia yang mengidentifikasikan dirinya dengan semuanya dan mengidentifikasikan kesenangan dan penderitaannya sendiri dengan kesenangan dan penderitaan semua makhluk.

Untuk dapat melakukan semua itu, Svami Sathya Narayana mensyaratkan setiap orang menjalankan 3 P. Purity (kemurnian), Patience (kesabaran), dan Perseverance (ketekunan). Sifat paling penting adalah 'kemurnian'. Dalam Bhagavad Gita Sri Krishna juga mengharuskan untuk menghapus pikiran buruk dengan selalu menumbuhkan pikiran damai. Jangan menyebarluaskan segala macam gosip pasaran dan menarik kesimpulan  secara terburu-buru tanpa berdasarkan informasi lengkap.

Untuk mengatasi pengaruh buruk tubuh (thanu), pikiran (mana), dan harta (dhana), perlu dikembangkan satsangga, seperti yang terdapat dalam kitab suci. Satsangga, tidak diartikan sebagai 'berada dalam lingkungan orang-orang baik', seperti pemahaman masyarakat umum. Tapi, Sat artinya Kebenaran yaitu atma atau Tuhan. Jadi, satsangga, berarti dalam lingkungan Tuhan dan bukan orang-orang.  Jika orang mulai membicarakan hal-hal buruk tentang orang lain, pergilah dari tempat itu tanpa mendengar pembicaraan sedemikian itu. Dalam Ramayana, Kaikeyi dipengaruhi kata-kata pelayannya Manthara yang menghasut untuk menghentikan penobatan Rama dan mengatur agar Rama dikucilkan, sebab ia tidak menyukai Rama. Karena Kaikeyi mendengarkan nasihat jahat Manthara, ia mengusahakan agar Rama pergi ke hutan. Kedua wanita ini memeperoleh nama buruk sepanjang masa. Di antara pria, kita memiliki contoh dalam Mahabharata. Duryudana selalu memiliki pikiran pikiran jahat yang berlanjut dengan rencana jahat. Demikian pula Kichaka memandang Drupadi dengan mata jahat dan ia dibunuh oleh Bima. Rahwana melakukan tindakan jahat. Manthara berdosa karena berbicara buruk tentang Rama, Kaikeyi mendengarkan kata-kata jahat itu. Kichaka berdosa karena melemparkan pandangan jahat pada Drupadi. Duryudana memupuk perasaan jahat dan melakukan perbuatan jahat. Inilah contoh-contoh untuk membuktikan bagaimana berbicara jahat, mendengar kata-kata jahat, berpikir jahat dan melakukan perbuatan jahat dapat menyebabkan keruntuhan seseorang. Sadhana rohani terdiri dalam berbicara, berpikir, melihat, mendengar dan berbuat baik.

Ilustrasi Mengontrol Pembicaraan (Sumber: RRI co.id)
Ilustrasi Mengontrol Pembicaraan (Sumber: RRI co.id)
Mengontrol Pembicaraan

Banyak bicara juga harus dihindari karena membuang tenaga. Jika orang menjadi lemah karena tenaga terbuang, ia cenderung menjadi pemarah dan tumbuhlah kebencian. Karenanya setiap orang mesti menggunakan tenaga pemberian Tuhan untuk tujuan-tujuan yang baik. Tenaga adalah pemberian Tuhan. Dengan mengurangi pembicaraan yang tak perlu, kita dapat menyimpan tenaga. Sedikit bicara, banyak bekerja, adalah nilai kearifan yang harus dipraktikkan.

Memfitnah, membunuh karakter, menonjolkan kekeliruan orang lain, mencoba mengecilkan atau menjatuhkan harga diri orang seseorang di mata yang lain, inilah kanker pembunuh yang telah menghancurkan banyak kelompok masyarakat. Sudah pasti hal demikian harus dianggap sebagai tindakan tercela bagi setiap badan rohani. Jika semua umat dapat memperluas lingkaran hubungan mereka dimana mereka dapat memberikan dan diterima dengan kasih, maka sudah pasti akan ada kemajuan. Kasih dalam hati lambat laun harus terus diperluas. Jangan menganalisis dan mencela. Tunjukkan simpati dan sebarkan kasih. Kasih adalah nafas kehidupan. Kasih adalah makanan yang menopang hidup. Jadikanlah  lautan cinta kasih maka tujuan akhir akan tercapai. Dengan demikian jelas tidak ada nilai tertentu yang tidak dapat dipersekutukan dengan ahimsa. Ia adalah nilai-nilai spiritual, moral dan sosial yang semuanya saling merangkum dan menunjang. Bahujana hitaya, bahujana sukhaya, lokanura-naya, - kesejahteraan orang banyak, kebahagiaan orang banyak, kenikmatan orang banyak.

Dalam era sekarang,  dimana tidak ada sama sekali batas besarnya pengorbanan yang dapat dilakukan seseorang untuk sampai pada "penyatuan dengan hidup", era yang menuntut sikap "perbanyaklah keperluan-keperluan", paham ahimsa sebagai wujud kasih dalam pengertian diperlukan untuk menggapai jenjang kemanusiaan yang lebih tinggi. Dalam tanpa kekerasan (ahimsa), kebenaran, kebajikan, kedamaian dan cinta kasih bertemu untuk memenuhi cita-cita agung jaman dahulu yakni udara caritanam tu vasudaiva kutumbakam, mereka yang hatinya penuh dengan cinta kasih yang tak terbatas merangkum seluruh dunia sebagai satu keluarga.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun