Gelombang demonstrasi yang berlangsung akhir-akhir ini menghadirkan pertanyaan mendasar: apakah aksi massa itu murni lahir dari keresahan rakyat atau justru bagian dari rekayasa sosial yang rapi? Jalanan kini bukan sekadar ruang protes, melainkan panggung besar tempat emosi kolektif ditampilkan, sementara media menjadi sutradara yang menentukan bagaimana drama itu akan ditonton dan diingat oleh publik.
Demonstrasi memang memiliki akar panjang dalam sejarah politik Indonesia. Ia lahir dari rasa tidak puas, dari kegelisahan akan ketidakadilan, dan dari harapan perubahan. Tetapi dalam perspektif komunikasi kritis, sebuah aksi di jalan tidak pernah hanya sekadar teriakan atau spanduk. Ia adalah bahasa simbolik yang sengaja ditampilkan untuk memengaruhi kesadaran masyarakat. Spanduk yang diangkat, orasi yang dikumandangkan, hingga teatrikal yang dimainkan bukan hanya ekspresi spontan, melainkan tanda-tanda yang bisa dimaknai berlapis-lapis. Maka wajar bila ada kecurigaan bahwa di balik demonstrasi yang tampak riuh itu, ada orkestrasi yang mengatur jalannya peristiwa.
Di era digital, media memegang peranan vital dalam menjadikan demonstrasi sebagai peristiwa nasional. Kamera televisi yang menyorot kericuhan, portal berita online yang menulis judul dramatis, atau potongan video singkat yang viral di media sosial mampu mengubah aksi lokal menjadi spektakel politik yang melibatkan emosi jutaan orang. Framing yang dilakukan media bisa membuat demo tampak heroik dan penuh keberanian, tetapi bisa pula menegaskan sisi brutal dan menakutkan. Media, dalam hal ini, bukan lagi sekadar pelapor, melainkan turut mengarahkan bagaimana publik memaknai peristiwa. Ia adalah sutradara yang diam-diam ikut merekayasa jalannya drama sosial.
Kecurigaan tentang adanya rekayasa sosial semakin menguat ketika melihat betapa cepat dan terorganisirnya mobilisasi massa. Ribuan orang bisa berkumpul dalam waktu singkat, dengan logistik yang terjamin, transportasi yang tersedia, serta narasi yang nyaris seragam. Tentu, keresahan rakyat itu nyata adanya, tetapi keresahan yang sejatinya spontan seringkali diarahkan, dikemas, bahkan dieksploitasi demi kepentingan politik tertentu. Demonstrasi, dalam hal ini, tidak lagi murni ekspresi rakyat, melainkan bagian dari strategi untuk menggoyang legitimasi, membangun konsensus baru, atau sekadar memperlihatkan kekuatan di hadapan lawan.
Publik pun akhirnya ditempatkan pada posisi ambigu sebagai penonton. Mereka menyaksikan demonstrasi melalui layar televisi, membaca berita daring, atau menyebarkan potongan video di media sosial. Namun penonton ini bukan pasif; mereka ikut menafsirkan, berkomentar, membela, atau mengecam. Opini pun terbelah: ada yang memuja demonstran sebagai pejuang keadilan, ada pula yang mencaci mereka sebagai perusuh bayaran. Polarisasi ini bukan kebetulan, melainkan bagian dari cara rekayasa sosial bekerja---menggiring masyarakat untuk mengambil posisi, memecah belah solidaritas, dan pada akhirnya menguntungkan aktor tertentu.
Membaca demonstrasi dalam perspektif komunikasi kritis berarti menolak melihatnya secara hitam putih. Tidak adil jika ia hanya dipahami sebagai ekspresi tulus rakyat, tetapi juga berlebihan jika dianggap sepenuhnya dikendalikan oleh elite. Realitasnya jauh lebih rumit: ada kepentingan yang berlapis-lapis, simbol yang ditafsirkan berbeda-beda, dan narasi yang terus diproduksi ulang oleh media. Jalanan, dengan segala keramaiannya, bisa menjadi panggung besar rekayasa sosial. Tugas kita adalah membaca peristiwa ini dengan kritis, agar tidak sekadar menjadi penonton yang terseret dalam drama politik, melainkan warga yang sadar bahwa ada permainan kuasa yang sedang dimainkan di depan mata. (srlk/030925)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI