Mohon tunggu...
PPI TIONGKOK
PPI TIONGKOK Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membangun Kembali Asa yang Hilang Melalui "Trauma Healing"

16 Januari 2019   15:19 Diperbarui: 16 Januari 2019   15:25 1372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Studi Kasus: Pasca  Bencana Tsunami Sulawesi --Tengah

Hampir sebulan bencana alam di Sulawesi --Tengah (29/09/18) yang melanda tiga kabupaten yakni Palu, Sigi dan, Donggala. Bencana alam yang terjadi merupakan bencana alam gempa tektonik (7.7 SR), Tsunami, Liquefaction, dan Tanah longsor.  Kami para relawan yang sempat berada di Palu mengatakan bencana alam yang terjadi seperti peperangan Avatar yang melibatkan semua elemen kehidupan, Tanah, Air, Api ,dan Angin semua mengamuk menjadi satu dan mengakibatkan pemukiman penduduk luluh lantah, tersapu gelombang Tsunami, membakar ribuan rumah yang disaat bersamaan menjadi puing-puing hingga akhirnya menewaskan ribuan nyawa.

Tidak membutuhkan waktu berjam-jam tapi hanya dalam hitungan menit semua menjadi pemandangan yang mengerikan, semua kota tiba-tiba menjadi lumpuh dan orang panik, mencari keluarga yang hilang, mayat bergelimpangan dimana-mana hingga yang tersisa hanyalah rasa takut, saya yakin para penyintas hingga saat ini mungkin masih ada yang belum bisa percaya dengan keadaan yang mereka alami, pengalaman kehilangan orang-orang tercinta dan ketidakberdayaan untuk menolong akibat dahsyatnya gempa menjadi bagian dari kisah-kisah yang memilukan setiap kali saya bertemu para penyintas di lokasi pengungsian.

Tergabung dalam Tim relawan Medis dan Psikososial Bosowa Peduli saya dan teman-teman cukup mampu mendapatkan akses dalam melihat situasi langsung pasca bencana alam di Sulawesi-Tengah dan berkoordinasi dengan para relawan dari berbagai organisasi untuk saling bersinergi untuk proses pemulihan penyintas dan kota-kota yang terdampak bencana alam.

Pemulihan daerah yang terdampak bencana bukanlah hal yang mudah diperlukan waktu bertahun-tahun untuk bisa kembali seperti sediakala, selain pembangunan infrastruktur, kondisi masyarakat yang terdampak dalam hal ini sebagai penyintas juga memerlukan perhatian tersendiri, menurut pandangan ilmu psikologi kondisi psikologis penyintas saat ini masih terfokus pada tahap penyesuaian diri dengan kondisi yang tidak menyenangkan, dan ingatan-ingatan akan pengalaman mengenai bencana yang seringkali dianggap sebagai kondisi trauma.

Perilaku-perilaku yang menunjukkan kondisi trauma, seperti takut untuk beraktifitas dalam gedung/ rumah atau bersedih atas kehilangan anggota keluarga hingga sulit tidur di lokasi pengungsian merupakan kondisi yang wajar dan normal bagi penyintas saat ini, selain itu perlu diperhatikan bagi relawan yang memberikan dukungan psikososial bagi penyintas untuk tidak memberikan intervensi psikologis pada penyintas secara umum, karena pada dasarnya normalnya penyintas akan mampu melalui kondisi pasca bencana dengan terbiasa pada realita yang ada saat ini. pemberian intervensi psikologis yang serampangan apalagi tidak berkelanjutan akan memberikan dampak negative pada kondisi psikologis penyintas.

Istilah "Trauma Healing" di Lokasi Bencana
Secara harfiah trauma healing bermakna penyembuhan masa trauma, tidak semua penyintas yang kita temui di lokasi bencana akan mengalami trauma, seperti yang saya singgung sebelumnya perilaku-perilaku yang teridikasi sebagai bentuk trauma merupakan reaksi alami setelah terjadi bencana.

Sehingga penggunaan trauma healing untuk saat ini rasanya belum tepat untuk digunakan, dari sebagaian besar penyintas akan melewati keadaan pasca gempa dan akan kembali memulai kehidupannya, dan hanya sebagian kecil yang akan mengalami trauma pasca bencana, Vaughan Bell seorang pakar psikologi melaporkan bahwa kebanyakan orang yang terguncang, tertekan dan berduka setelah pasca bencana tidak mengalami kondisi stress, hanya sekitar 30% dari masyarakat penyintas yang kira-kira akan mengalami masalah psikologis dan umumnya akan pulih dengan sendirinya.

Walau demikian dari sejumlah penyintas akan ada sebagian kecil yang akan mengalami gangguan psikologis yang membutuhkan bantuan ahli namun untuk melakukan penegakan diagnosis dibutuhkan waktu dan observasi yang akurat dalam melihat kecenderungan stress pasca trauma (Post traumatic stress disorders).

Sehingga sebulan pasca bencana hal yang paling tepat dilakukan adalah pemberian edukasi pada seluruh penyintas termasuk para relawan yang bekerja dalam tahap pemulihan untuk memahami konsep trauma healing yang sesungguhnya, pelabelan psikologis yang tidak tepat  pada penyintas saat ini akan memberikan dampak negative pada para penyintas dalam proses pemulihan.

(Psikososial Support sebagai Alternatif)
Untuk itu pendampingan psikososial merupakan hal yang tepat dilakukan pada para penyintas untuk membantu melewati masa-masa krisis, dalam hal ini sejumlah lembaga psikologi di Indonesia yang konsen terhadap proses pemulihan psikologis penyintas di daerah bencana telah mengambangkan istilah Psychological First Aid (PFA) atau dapat dikatakan sebagai pertolongan pertama psikologis, secara umum dalam PFA diberikan pengetahuan mendasar mengenai kondisi-kondisi psikologis yang dapat saja terjadi setelah terjadinya bencana dan langkah-langkah praktis untuk mengatasi stressor yang akan ditemukan. Memberikan pemahaman kepada para penyintas dan relawan mengenai kondisi nyata yang dialami merupakan hal yang akan membantu para penyintas untuk pulih dengan sendirinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun