Mohon tunggu...
Ahmad afif
Ahmad afif Mohon Tunggu... Dosen - Afif

fleksibel adalah kunci kesuksesan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Salah Kaprah Pemahaman Sukses Tanpa Ijazah

1 Desember 2020   06:06 Diperbarui: 1 Desember 2020   06:19 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dinamika sukses tanpa ijazah terus menggaung di telinga saya sewaktu nonton acara talk show di salah satu stasiun TV nasional, bukan hanya sekali namun berulang kali bahkan berjuta kali. Suasana suka maupun tidak suka kerap menghampiri dikala hal tersebut tidak ada badai, tidak ada angin spontan saja disinggung dan disinggung beberapa kali. 

Biasanya karena ada sebab trending dan topik pada acara tertentu, namun ini benar-benar tanpa sebab. Seolah-olah ada ajakan ayo sukses, ayo jangan sekolah. Terus terang saja saya pribadi sebagai orang yang dibesarkan oleh lingkungan pendidikan sekolah formal merasa hal tersebut mempunyai nilai provokasi. Bukan karena subjektif belaka yang membuat hati ini tergerak untuk melakukan revolusi atas sangkaan publik yang memaknai kesuksesan tanpa ijazah tentunya.

Pada dasarnya ijazah merupakan bukti fisik atas pencapaian siswa setiap menyelesaikan jenjang pendidikan mereka, atas bukti tersebut diberikan legalitas penggunaanya sebagai syarat mendaftarkan diri untuk pekerjaan maupun profesi lainya. 

Disinilah pintu masuk kesuksesan tersebut, apabila pekerjaan yang didapatkan bergaji gede tentulah akan memaksimalkan pendapatan lanjut menapaki kesuksesan tersebut pada area materi. Hal inilah yang menjadi provokasi bagi sebagian kelompok yang tidak menempuh jalur sekolah formal atau bahasa enaknya gak punya ijazah karena boro-boro lulus SMA, SD saja kagak tamat. Disinilah poin yang harus saya luruskan untuk membuat segalanya menjadi clear.

Disamping pihak para pihak yang mempunyai ijazah banyak yang melempar perlawanan juga banyak yang ingkar buta, hatinya berkata namun tidak ada action. Paradigma ini sebetulnya spontan saja subjektifitas tetap menjadi tema. Antar pihak yang berijazah maupun tidak,walau sebetulnya ukuran sukses akan kita bahas nanti diparagraf berikutnya. 

Insan berijazah mempunyai ideologi yang kuat dalam memahami proses melalui pendidikan sekolah pada kewajiban belajar yang berjenjang sesuai runut disiplin perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menghadapi zaman. 

Disamping pihak peraturan pemerintah akan program wajib belajar 9 tahun lama kelamaan sekarang menjadi 12 tahun, Pemerintah dengan segala kelengkapan tim ahli sudah jelas melakukan kajian tentang indeks pembangunan manusia ini melalui sentra wahana IPM yang mempunyai muara pada tiga sektor yaitu; pendidikan, ekonomi dan kesehatan. Pendidikan bukan hanya satu dari dua sektor lainya yang dapat membangun kualitas tiap individu di sebuah Negara. 

Dua sektor lain yakni ekonomi menjadi indeks berikutnya, ekonomi juga menentukan kualitas individu dalam mencapai taraf kehidupan yang sejahtera sehingga akan menciptakan keseimbangan antara kehidupan dengan nyaman dan kualitas pemikiran yang tinggi. 

Terakhir, kesehatan mempunyai peran sentral dalam pembangunan manusia dengan dasar pemahaman bahwa jiwa yang sehat terletak pada akal dan pikiran yang juga sehat. Bekal kesehatan menjadi syarat mutlak akan pencapaian maksimal dalam membangun kualitas manusia dalam berpendidikan dan berekonomi. Lantas bagaimana pemaknaan sukses?

Pemahaman sukses ternyata sudah terlanjur dimaknai statis oleh kebanyakan orang dengan ruang semu pada keperkasan kekuasaan dan materi saja. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya media baik visual, maupun audio visual oleh terbitan kesuksesan orang tidak berijazah atau tidak tamat sekolah namun dapat meraih omset puluhan juta bahkan milyaran. 

Tentu saja indikasi itu telah membuat pemahaman cupet memaknai sukses oleh kalangan kelompok tertentu hanya berlandaskan kekuasaan dan materi. Belum lagi tentang keperkasan wirausahawan yang mempunyai ratusan perusahaan disertai jutaan karyawan yang bekerja padanya. Kita patut waspada terhadap gorengan stigma itu dengan mengedepankan kebijakan dalam berpikir dan beritikad. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun