Mohon tunggu...
Steve Harison
Steve Harison Mohon Tunggu... Wirausaha -

Inspirator Muda Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Politik

Variasi 'Aroma' dibalik Kemeriahan G20 Hangzhou

5 September 2016   23:43 Diperbarui: 5 September 2016   23:53 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tiongkok kini bukanlah negara yang dipandang sebelah mata oleh masyarakat dunia.

Tiongkok telah menjelma menjadi kekuatan dunia nomor 2 setelah Amerika Serikat,

namun menjadi nomor 3 saat Uni Eropa hadir dalam klasifikasi kekuatan dunia

(setidaknya sebelum Brexit benar-benar terimplementasi sempurna pada tahun depan).

Politik internasional adalah sesuatu yang dinamis, bukanlah sesuatu yang statis.

Jadi, jika mengamati politik internasional, janganlah jauh-jauh dari 


sumber berita dan media massa yang terpercaya.

Begitupun, dengan salahsatu gelaran politik internasional tingkat dunia 

pada awal September ini di Hangzhou, Tiongkok yang disebut dengan 

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 dimana 20 anggotanya (19 negara + Uni Eropa) 

merupakan entitas paling berpengaruh dalam sistem pemerintahan dunia. 

G20 Summit Hangzhou ini diadakan pada 4-5 September, dengan dihadiri

oleh Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki Moon, sejumlah pemimpin organisasi internasional lainnya,

serta undangan khusus dimana 3 pemimpin anggota ASEAN hadir (Thailand, Singapura, dan Laos).

Sajian G20 Summit yang dikemas sempurna oleh Tiongkok ini diadakan di kota Hangzhou yang

merupakan 'the living poem' negeri tirai bambu, sungguh romantis namun tetap fantastis. 

Tiongkok yang kini memimpin laju pertumbuhan global sebenarnya tidak lagi menyandang

status sebagai negara berkembang, namun juga belum menyentuh status negara maju sepenuhnya.

Tiongkok sedang dalam periode transformasi yang panjang namun gemilang sejak 1990an hingga sekarang.

Sebagai negara ketua G20 pada tahun ini, Tiongkok berusaha menjadi tuan rumah yang baik

meskipun negaranya tahu dan paham bahwa situasi yang dihadapi dan 

'aroma yang menyeruak' tidaklah sebaik itu.

  • Aroma pertama, mengenai Laut Tiongkok Selatan yang penuh gejolak akan sengketa teritorial

dimana ketegasan hukum internasional tertantang oleh kekuasaan politik global Tiongkok

sebagai kekuatan ekonomi politik paling berpengaruh setelah Amerika Serikat. 

Dalam logika sederhana yang sekilas terbayang di pikiran saya,

jika AS dan negara-negara Eropa memiliki banyak pangkalan laut di berbagai belahan dunia,

mengapa Tiongkok tidak boleh memiliki area Laut Tiongkok Selatan yang bertetangga dengan wilayahnya?

Apakah ini bentuk arogansi negara-negara maju dan rasa paranoid akan status quo 

pengaturan pertahanan dan keamanan dunia yang selama ini didominasi oleh pihak Barat? 

Belum lagi, beberapa negara anggota ASEAN yang menentang langsung 'bentuk arogansi' Tiongkok ini

tanpa pernah mempertanyakan 'arogansi' pihak Barat yang selama ini masih terus berlangsung.

Perjalanan memang masih panjang bagi Tiongkok untuk memperkuat pengaruh politik internasionalnya

terhadap seluruh dunia meski memang sudah jauh lebih baik citranya dibandingkan di masa lalu. 

  • Aroma kedua, mengenai perseteruan antara AS dan Rusia, yakni dimana Obama dan Putin 

masing-masing saling menjaga jarak walaupun terdapat pertemuan bilateral di sela-sela G20 Summit ini.

AS dan Rusia ini masih terus membahas proxy wars mereka sendiri di Ukraina dan Suriah,

dan bahkan lebih lagi yaitu menyangkut kepemimpinan Turki oleh Presiden Erdogan dimana

negaranya adalah sekutu terbesar NATO di Timur Tengah namun kini semakin mendekat

kepada pihak Kremlin untuk mencegah langkah strategis AS yang 'terlalu berani'.

Selain itu, persaingan dalam kecanggihan teknologi militer antara AS dan Rusia pun terus dipertontonkan

tanpa rasa 'tahu malu' dan 'tahu diri' akan peran mereka sebagai anggota Dewan Keamanan PBB

yang semestinya menjadi pencipta dan pelindung perdamaian dunia bukan justru sebaliknya. 

  • Aroma ketiga, mengenai eksistensi BRICS yang semakin pudar. Kelompok BRICS yang terdiri dari 

negara-negara inisiator reformasi tata kelola dunia yakni Brazil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan

tentunya memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam percaturan global dalam berbagai bidang seperti

militer, ekonomi, politik, budaya, hingga sosial. Belakangan, BRICS ini dianggap oleh pihak Barat telah

memudar dan semakin powerless dalam mengawal reformasi dunia yang dimulai dari sistem PBB. 

Namun, Tiongkok tetap 'menggebrak' dengan diadakannya side event khusus untuk kelompok BRICS

dalam G20 Summit untuk menunjukkan soliditas dan integritas 5 negara tersebut. Tiongkok seperti

ingin menunjukkan bahwa negaranya memiliki leadership skill yang tak kalah hebat dengan pihak Barat. 

Terlebih bahwa, Tiongkok selalu mengedepankan retorika diplomasi yang menunjukkan keberpihakan

terhadap negara-negara miskin dan berkembang yang jumlahnya mencapai lebih dari 100 negara di seantero dunia. 

Dari kelompok BRICS ini hanya India saja yang belum menampilkan negaranya sebagai kekuatan global

misalnya dari segi sebagai tuan rumah perhelatan olahraga tingkat dunia.

Brazil telah menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Panas 2016 di Rio de Janeiro dengan sukses,

Rusia telah menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Dingin 2014 di Sochi dan 

akan menjadi tuan rumah Piala Dunia FIFA pada 2018 mendatang,

lalu Tiongkok sendiri telah menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Panas 2008 

dan akan menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Dingin 2022 sehingga 

Beijing akan terukir dalam sejarah sebagai satu-satunya kota di Asia

yang menjadi tuan rumah sekaligus 2 jenis olimpiade.

Sedangkan Afrika Selatan telah menjadi tuan rumah Piala Dunia FIFA pada 2010

dan diperkirakan akan mengikuti seleksi tuan rumah Olimpiade Musim Panas 2024.

  • Aroma keempat, aroma 'peperangan' institusionalisasi ekonomi internasional.

Tiongkok dengan kepercayaan dirinya mendirikan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB)

dimana Indonesia menjadi salahsatu founder yang juga kemudian menjadi debitor, 

hingga kini hanya AS dan Jepang yang bergeming untuk bergabung, sedangkan 

seluruh anggota BRICS juga ternyata telah bergabung meskipun mereka sendiri

memiliki institusi bernama New Development Bank (NDB) yang telah mulai beroperasi penuh tahun ini.

Peperangan pengaruh dalam sektor finansial dunia memang sengit, 

AS tentu masih dengan World Bank sedangkan Jepang dominan dalam Asian Development Bank. 

Di sektor lain, AS dan Jepang sendiri sedang gencar-gencarnya mempromosikan strategi ekonomi tersendiri 

yakni dalam perdagangan melalui Trans Pacific Partnership (TPP) yang digadang-gadang menjadi

pakta perdagangan terbesar dan paling berpengaruh di dunia dimana hingga kini telah

12 negara di busur Pasifik yang bergabung termasuk Malaysia, Brunei, Singapura, dan Vietnam.

Namun tak kalah cepat, Tiongkok segera menyusun skenario lebih mumpuni yaitu 

Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang ternyata jauh lebih masif dampaknya

yakni meliputi 16 negara, dengan melibatkan 6 negara anggota ASEAN lainnya serta India.

Peperangan pengaruh dalam sektor perdagangan dunia pun sangat sengit.

Jadi secara umum, 4 aroma tersebut tercium dengan sangat kental pada tahun ini

namun mengapa Presiden Tiongkok, Xi Jin Ping, selalu ramah dan tersenyum menyambut

tamu-tamu agungnya yang merupakan para pemimpin dunia tersebut?

Apakah indikasi suatu kepercayaan diri atau justru kerendahan hati sebagai tuan rumah?

Namun satu aroma terakhir yang memuaskan masyarakat dunia terutama terkait isu perubahan iklim,

Tiongkok dan AS telah sepakat untuk meratifikasi Kesepakatan Paris (Paris Agreement) dengan

diiringi jabatan tangan bersama antara, Xi Jin Ping, Obama, dan Sekjen PBB, Ban Ki Moon. 

G20 Summit Hangzhou ini setidaknya membawa kabar baik bagi seluruh warga dunia karena

AS sebagai emiter karbon terbesar dan Tiongkok sebagai emiter terbesar kedua harus

bersatu padu untuk membawa dunia ke arah yang lebih baik terutama

tantangan perubahan iklim yang berdampak dimana-mana tanpa kenal batas.

Semoga 'aroma terbaik dan terakhir' ini mampu menjadi semangat tersendiri dalam

menguatkan semangat berkolaborasi untuk seluruh anggota G20 mengingat

dunia kini semakin terjatuh dalam resesi ekonomi yang berkepanjangan dan 

dikhawatirkan terus memicu peperangan di berbagai negara sehingga

akhirnya menghancurkan sebagian besar peradaban manusia di dunia. 

Kemeriahan 'the living poem' seharusnya menjadi refleksi tersendiri bagi

para pemimpin G20 untuk lebih melayani para warganya dengan baik

tanpa harus menyakiti masyarakat negara-negara lainnya di dunia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun