Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Injil yang Palsu

17 Agustus 2018   21:54 Diperbarui: 23 Agustus 2018   23:16 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Barang-barang palsu banyak beredar di sekitar kita. Kita bahkan mungkin pernah tertipu karena membeli barang palsu. Kerugian yang ditimbulkan beragam: ada yang sedikit, ada pula yang banyak. Ada kerugian yang bisa ditangani, ada pula yang terlanjur parah.

Nah, apa yang terjadi apabila kita mempercayai Injil yang palsu? Apakah ini sekadar kesalahan sepele dengan resiko yang kecil? Bagaimana mengenali Injil yang palsu seperti ini?

Situasi yang sangat memprihatinkan dan genting (ayat 6-7a)

Bahaya yang sedang mengancam jemaat di Galatia, yaitu ajaran sesat atau Injil palsu, sangat meresahkan Paulus. Gejolak perasaan ini terlihat jelas dalam penulisannya. Ada nuansa emosional. Ada kegentingan yang perlu segera ditangani.

Tidak ada ucapan syukur maupun doa yang mengikuti salam pembuka. Hal ini cukup menarik untuk digarisbawahi. Surat-surat kuno maupun surat-surat Paulus yang lain memang mengikuti pola penulisan seperti ini. Surat Galatia adalah sebuah perkecualian. Tidak ada ucapan syukur dan doa (harapan).

Bagi beberapa penafsir, ketidakadaan ini dipandang lazim. Orang kadang tidak mengikuti pola konvensional. Surat Galatia juga merupakan surat pertama yang ditulis. Pada waktu itu Paulus mungkin masih belum mengikuti pola tertentu.

Pandangan ini mungkin kurang tepat. Paulus pasti sudah terbiasa dengan surat-menyurat. Paling tidak, dia cukup mengenal aturannya. Kalau di bagian awal (salam pembuka) Paulus sudah mengikuti pola yang ada, kemungkinan dia juga mengetahui bagian selanjutnya dari pola itu (ucapan syukur dan doa). Jika dia tidak mengikuti, itu pasti bukan tanpa alasan. Lagipula, beberapa pilihan kata yang digunakan di 1:6-10 memang mengekspresikan gejolak emosional (lihat bagian di bawah).

Pemunculan kata “heran” (thaumazo, 1:6) juga memperkuat nuansa emosional yang ada. Kata ini di tempat lain hanya di 2 Tesalonika 1:10 (“dikagumi”). Berdasarkan hal ini kita sebaiknya menerjemahkan “heran” (thaumazo) di 1:6 dengan “tidak habis pikir”.

Keheranan ini berhubungan dengan aspek waktu. Mereka berbalik dari kebenaran terlalu cepat (LAI:TB “begitu lekas”, houtos tacheos). Kecepatan ini bisa berkaitan dengan jarak pertobatan ke kesesatan, jarak kedatangan guru palsu ke kesesatan jemaat, atau merujuk pada ketergesaan mereka dalam mengambil keputusan untuk meninggalkan Injil yang benar. Di antara semua opsi ini, yang pertama tampaknya lebih tepat. Kesesatan mereka terjadi hanya sekitar setahun sesudah perjalanan misi Paulus ke daerah selatan Galatia. Apa yang terjadi ini sangat mirip dengan kesesatan bangsa Israel dahulu. Baru saja mereka mengikat perjanjian dengan TUHAN di Sinai, mereka sudah jatuh ke dalam penyembahan berhala (Kel. 32:8 “Segera juga mereka menyimpang”; Ul. 9:16 “telah segera menyimpang”).

Selain terkait dengan waktu, keheranan Paulus juga perlu dilihat dari kebodohan dari kesesatan mereka. Kesesatan ini diungkapkan dalam bentuk “berbalik dari Allah” (LAI:TB) atau “meninggalkan Allah” (NASB/NIV/ESV). Kata Yunani “metatithemi” kadangkala muncul dalam konteks seseorang meninggalkan suatu aliran filsafat tertentu atau bahkan meninggalkan iman (2Mak. 7:24).      

Secara tata bahasa, kata kerja “metatithesthe” di ayat 6 bisa berbentuk middle (sejenis kata kerja aktif tetapi untuk diri sendiri, lihat beberapa versi Inggris) atau pasif (KJV “you are so soon removed”). Dalam hal ini pilihan mayoritas jauh lebih sesuai konteks. Paulus mengecam tindakan jemaat Galatia. Jikalau metatithesthe dipahami secara pasif (mereka dipisahkan dari Allah), dia mungkin akan bersedih, bukan mengecam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun