Istilah kedua adalah “pribadi.” Makna yang terkandung dalam istilah ini adalah perwujudan spesifik dari hakikat atau natur. Semua manusia memiliki tubuh, namun tubuh seperti apa yang dimiliki berbeda-beda. Semua orang memiliki pikiran dan perasaan, tetapi apakah pikirannya cemerlang atau perasaannya halus masing-masing orang tidaklah sama. Hal-hal yang khusus ini yang dinamakan “pribadi.”
Istilah lain yang bermanfaat adalah “kepribadian theanthropik.” Theanthropik berasal dari kata “theos” yang berarti “Allah” dan “anthropos” yang berarti “manusia.” Istilah ini berguna untuk menekankan bahwa hanya ada satu pribadi yang menyatukan dua hakikat Kristus.
Istilah kepribadian theanthropik juga memberi penekanan yang memadai bahwa natur ilahi adalah akar dari kepribadian Kristus. Theos diletakkan di depan anthropos. Sama seperti cabang zaitun liar yang dicangkokkan ke pohon zaitun asli dan mendapatkan kehidupan dari pohon itu, demikianlah kemanusiaan Kristus ditambahkan dan disatukan pada keilahian-Nya. Dua hakikat ini digerakkan oleh kepribadian theanthropik.
Istilah terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah “jiwa” dan “tubuh.” Dua istilah ini jelas lebih berhubungan dengan hakikat insani Kristus, karena Allah adalah roh (Yohanes 4:24a). Dalam hal ini jiwa merujuk pada nyawa. Jiwa dibedakan dari tubuh.
Berbekal istilah-istilah di atas, marilah kita sekarang mencoba menjelaskan kematian Kristus. Secara sederhana, kematian dapat dipahami dalam dua cara. Sebagian orang menganggap kematian sebagai ketidakadaan (non-existence). Alkitab jelas tidak membicarakan kematian dalam arti semacam ini. Masih ada kehidupan sesudah kematian. Sebagian yang lain melihat kematian sebagai keterpisahan antara tubuh dan jiwa, antara yang material dan non-material. Alkitab mengamini hal ini, namun keterpisahan itu hanyalah sementara.
Dua jenis kematian di atas jelas tidak dapat diterapkan pada diri Allah. Ia adalah kekal, sehingga Ia tidak mungkin tidak ada. Allah juga tidak memiliki tubuh, sehingga keterpisahan antara tubuh dan jiwa merupakan hal yang benar-benar tidak relevan untuk Allah.
Lalu apa yang terjadi pada saat kematian kematian Kristus? Pada saat di kayu salib, jiwa dan tubuh Kristus terpisah untuk sementara waktu sebelum dibangkitkan. Dengan kata lain, kematian Kristus lebih bersentuhan dengan hakikat insani-Nya. Selama tiga hari tiga malam keutuhan kemanusiaan-Nya terinterupsi (pemisahan antara jiwa dan tubuh).
Keterpisahan seperti ini tidak terjadi pada kepribadian-Nya yang theanthropik. Baik jiwa maupun tubuh Kristus tidak terpisah dari kepribadian ini. Tentang kematian-Nya, Kristus sebelumnya sudah berkata: “Aku berkuasa memberikannya, dan Aku berkuasa untuk mengambilnya kembali” (Yohanes 10:18). “Aku” di sini merujuk pada kepribadian theanthropik Kristus. Pribadi ini tidak terpisah dari kemanusiaan Kristus, baik pada saat hidup maupun mati.
Bertolak dari pemahaman bahwa natur ilahi Kristus adalah akar dari kepribadian theanthropik-Nya, kita masih dapat mengatakan bahwa Allah mati untuk kita. Kepribadian khusus yang berakar dari natur ilahi-Nya ini tidak terpisahkan dari jiwa dan tubuh insani-Nya. Karena itu, dalam taraf tertentu, kematian-Nya tetap bisa disebut “kematian Allah,” walaupun bukan dalam arti hakikat ilahi-Nya yang mati.
Konklusi
Setelah meninjau semua alternatif pandangan yang diajukan oleh Muslim, kita bisa tiba pada kesimpulan bahwa kebingungan bukan terjadi pada orang-orang Kristen dan Yahudi, tetapi justru dialami oleh orang-orang Muslim sendiri. Keragu-raguan karena mengikuti perasaan belaka justru dialami oleh orang-orang Muslim (bdk. Q.S. 4:156-158). Orang Yahudi sampai sekarang memegang kuat fakta bahwa Yesus disalib. Mereka memiliki argumentasi historis yang memadai. Demikian halnya dengan orang Kristen.