Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Spiritualitas Reformed

5 Maret 2018   20:50 Diperbarui: 23 Agustus 2018   21:45 900
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

GZB secara eksplisit mengajarkan pengalaman-pengalaman mistis yang dapat dikategorikan sebagai okultisme (berkaitan dengan roh-roh jahat). Para pengikut meditasi transendental dilatih untuk bermeditasi sampai mereka tidak bisa terbang, tidak dapat dilihat oleh mata biasa, bahkan hingga rohnya dapat berkelana meninggalkan tubuh. Sebagian yang lain mengalami kesurupan dan menjadi media komunikasi bagi roh-roh tertentu yang mengajarkan berbagai hal tentang allah, manusia, dan dunia. Beberapa orang mengaku mengalami perjumpaan dengan dewa tertentu ketika mereka meleburkan diri dengan alam semesta.

Bidang psikologi GZB juga memengaruhi beberapa orang Kristen. Humanisme, sekularisasi, dan gaya hidup individualistik telah menjadi tanah yang subur bagi psikologi yang antrposentris. Teori psikoanalisa Sigmund Freud sampai teori motivasi dan kepribadian yang dikembangkan Abraham Maslow merupakan jalan masuk bagi penyambutan GZB. Pikiran kita dianggap memiliki kekuatan yang tanpa batas. Banyak hal dapat dihasilkan melalui pola pikir yang positif dan melampauin kebiasaan. Salah satu produk terkenal dari pengaruh ini adalah Human Potential Movement yang mendorong manusia untuk memercayai diri sendiri dan menyangkali semua keterbatasan yang ada.

Fenomena serupa sedang melanda gereja-gereja kalangan tertentu. Tuhan adalah alat pemuas kebutuhan. Percaya dapat pasti dapat. Keraguan adalah tanda iman yang lemah. Sugesti yang berlebihan dipandang cocok untuk menggantikan kebenaran Alkitab. Tangisan menjadi tolok ukur kuasa dan kehadiran Roh Kudus. Keutuhan Injil Yesus Kristus tidak lebih penting daripada pertunjukan bahasa roh yang tidak karuan (tidak disertai penafsirannya). Hal-hal yang anti-rasional mendapat posisi penting dalam ibadah. Kegemaran banyak gereja terhadap peristiwa tumbang dalam roh atau pengalaman ekstase lainnya merupakan bukti nyata bahwa gereja-gereja modern terikat oleh pengaruh GZB.

Tantangan selanjutnya datang dari postmodernisme. Tantangan ini muncul hampir bersamaan dengan GZB. Keduanya bahkan saling memengaruhi. Pola pikir postmodern sudah sedemikian akrab bagi banyak orang, sehingga - disadari atau tidak - mereka telah diliputi oleh pola pikir ini. Semua bidang sudah disentuh oleh postmodernisme. Dalam kaitan dengan pembahasan kali ini, fokus kita hanya tertuju pada spiritualitas postmodern.

Spiritualitas Reformed dan postmodernisme akan coba dilihat secara bersamaan, walaupun ini bukanlah sebuah studi komparasi. Artikel ini ditulis untuk menolong pembacanya melihat kekayaan spiritualitas Reformed dan bagaimana kekayaan itu dapat memperkaya orang-orang Kristen yang hidup di zaman postmodern. Melalui artikel ini diharapkan muncul sebuah pemahaman yang lebih komprehensif seputar spiritualitas Reformed dan bagaimana spiritualitas tersebut dapat menjawab tantangan di era postmodern.

Postmodernisme didasarkan pada satu filosofi: relativisme. Paham ini mengajarkan bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak (absolut). Segala sesuatu adalah relatif, subjektif, dan personal. Benar bagiku belum tentu benar bagimu. Biarkan saja semuanya mengalir seperti air. Tidak perlu bertengkar. Dua kebenaran yang saling berkontradiksi pun dianggap dapat disandingkan bersama tanpa harus memilih salah satu dan membuang yang lain. Walaupun secara logis pandangan ini tidak bisa dibenarkan, namun para penganut postmodern tetap memegang teguh paham ini karena pada dasarnya mereka lebih cenderung mengutamakan pemikiran pragmatis ketimbang logis.

Pengaruh yang dibawa oleh relativisme tidak bisa dipandang sebelah mata. Hukum, politik, seni, pendidikan, filsafat, teologi, gereja, hanyalah sebagian kecil dari merebaknya pengaruh relativisme dalam masyarakat modern. Pengaruh ini pun dapat dengan mudah ditemukan dalam bidang spiritualitas. Sayangnya, spiritualitas Kristen pun ikut teracuni oleh relativisme. Apa saja bentuk spiritualitas postmodern yang relativis ini?

Pertama, spiritualitas yang tidak memiliki dasar kebenaran mutlak. Akibat dari relativisme adalah penolakan terhadap suatu dasar kebenaran yang mutlak, termasuk dalam hal spiritualitas. Ketika dasar kebenaran ditolak, maka yang disorot hanyalah bentuk luar dari spiritualitas. Hal ini bisa dipahami karena bentuk luar dari agama-agama yang ada cenderung sama sehingga bentuk luar inilah yang dijadikan “alat pemersatu”. Semua agama mengajarkan perbuatan baik; dan itu dirasa sudah cukup. Demikianlah kira-kira cara pandang orang postmodern. Dengan demikian, spiritualitas dalam era postmodern telah direduksi menjadi sekadar moralitas belaka.

Beberapa fenomena secara jelas mengarah ke sana. Berkembangnya SQ (Spiritual Quotient) merupakan salah satunya. Banyak orang membicarakan spiritualitas versi SQ yang - jika dilihat dari perspektif Alkitab - tidak lebih daripada moralitas. Tidak jarang dalam diskusi yang dilakukan orang Kristen tentang SQ pun pembahasannya sama persis dengan SQ versi lain.

Fenomena lain adalah merebaknya kata-kata motivasi. Para motivator sekarang mulai naik daun. Dengan sejuta janji mereka meyakinkan banyak orang tentang kepastian keberhasilan dalam hidup yang biasanya dipahami semata-mata secara material. Sayangnya, para motivator Kristen lupa untuk menggarami wilayah baru ini dengan prinsip teologi Kristen. Apa yang disampaikan tidak ada bedanya dengan kata-kata yang diucapkan oleh orang-orang non-Kristen. Radio Kristen tidak ketinggalan memberi ruang khusus bagi hal ini, walaupun banyak kata-kata motivasi yang muncul sebenarnya tidak memiliki nuansa kekristenan yang unik. Tanpa bermaksud mengabaikan prinsip “segala kebenaran adalah kebenaran Allah”, fenomenda maraknya kata-kata motivasi ini paling tidak menjadi salah satu bukti betapa spiritualitas Kristen dalam banyak hal sudah teracuni dengan filosofi postmodern.

Situasi di atas diperparah dengan gerakan ekumenikal yang berusaha untuk mengingkari perbedaan esensial antar agama. Keunikan masing-masing agama coba untuk diminimalisasi (jika perlu dihilangkan sama sekali), padahal secara logis toleransi tanpa batas merupakan sebuah mitos, bahkan  utopia. Kebersamaan bagi mereka dipahami sebagai kesamaan. Kesatuan dibatasi pada keragaman. Tidak heran, ketika mereka mencari alat pemersatu antar agama, mereka menemukan perbuatan baik (moralitas) sebagai media yang tepat. Perbedaan esensial dalam taraf motivasi atau dasar moralitas diabaikan supaya kesamaan terlihat lebih mengemuka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun