Mohon tunggu...
STEFFI KARTIKA SATRIYA
STEFFI KARTIKA SATRIYA Mohon Tunggu... Mahasiswa Magister Ilmu Ekonomi Universitas Tanjungpura

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Harapan Pekerja Lintas Batas Aruk : Regulasi Khusus bagi Migran Temporer di Wilayah Perbatasan

30 Mei 2025   00:00 Diperbarui: 30 Mei 2025   13:40 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
PLBN Aruk, Sambas - Kalimantan Barat

(Studi Tentang Migrasi harian/mingguan/bulanan Pekerja Lintas Batas melalui PLBN Aruk - oleh : Steffi Kartika Satriya / Mahasiswa Ilmu Ekonomi Universitas Tanjungpura)

Sajingan Besar (02/05)- Ratusan warga Indonesia setiap hari melintasi Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Aruk di Kabupaten Sambas untuk bekerja baik  sesuai prosedur resmi maupun tidak resmi di Malaysia. Sebagian dari mereka berasal dari desa-desa sekitar perbatasan, seperti Sajingan Besar. Kebanyakan dari mereka bekerja disektor informal seperti buruh sawit, asisten rumah tangga, hingga pekerja bangunan. Meski sudah berlangsung bertahun-tahun, aktivitas ini masih dibayang-bayangi ketidakpastian hukum, upah yang dipotong cukong, dan minimnya perlindungan negara.

Kisah di Balik Tapal Batas

Di balik langkah-langkah puluhan hingga ratusan orang menyusuri PLBN Aruk menuju negeri tetangga, tersimpan kisah tentang perjuangan hidup yang rumit. Sebagian besar dari mereka adalah migran temporer yang terpaksa bekerja secara illegal, tanpa visa kerja, tanpa kontrak resmi, dan tentu tanpa perlindungan hukum. Para pekerja ini memilih jalur non prosedural karena prosedur legal untuk menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) masih dianggap mahal, rumit, dan tidak tersedia bagi pekerjaan disektor informal dengan kontrak-kontrak jangka pendek atau bahkan tanpa kontrak kerja.

Rata-rata upah memang jauh diatas upah di daerah asal, namun sejalan dengan tantangan yang dihadapi di negeri orang. Salah satu pekerja lintas batas mengungkap praktik pemotongan upah oleh calo.

"Sering upah tak sesuai karena dipotong cukong. Ada juga majikan yang kabur atau laporkan kami ke polisi ketika mendekati tenggat pembayaran upah, agar kami tak dibayar," sebut Antonius, salah satu responden.

Masyarakat perbatasan bahkan mengaku pernah melihat kasus pekerja yang tak pulang atau hilang khususnya yang bekerja di Malaysia untuk melaut.

ilustrasi
ilustrasi

Ketahanan Keluarga: Uang Malaysia, Hati Indonesia

 Meski penghasilan di Malaysia 2–3 kali lebih tinggi daripada di Sajingan, seluruh responden menolak menetap di sana. "tidak ingin menetap di Malaysia, karena hidup penuh rasa was-was. Sadar tentang prosedur tidak resmi, jadi takut terjaring oleh polisi Malaysia" tegas seorang responden. Uang hasil kerja memang meningkatkan ekonomi keluarga, tetapi mereka menolak mengorbankan ikatan sosial dan kewarganegaraan, selain itu upah yang diterima menjadi besar ketika dibelanjakan di daerah asal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun