Mohon tunggu...
Stefany Caudia
Stefany Caudia Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tangan-tangan Pengais Kerang di Utara Jakarta

13 Mei 2017   22:17 Diperbarui: 15 Mei 2017   08:56 667
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Area di utara Jakarta tenggelam dengan kecepatan 25 cm per tahun. Ada empat juta manusia tinggal di daerah-daerah yang saat ini berada sekitar empat meter di bawah permukaan laut. Seraya penurunan tanah berlangsung, bahaya akan tenggelamnya kota ini tak dapat terhindarkan. Ya, Jakartaku yang malang akan tenggelam, begitu juga jutaan pengais kerang yang ada di dalamnya.

Ketika diriku sampai di sana, bau asap kerang hijau langsung menembus pernafasanku, menyeruak di tengah padatnya pemukiman penduduk. Sejenak terasa, ada kemirisan di antara kepingan kerang-kerang itu. Penampakan tangan-tangan yang sedang mengupas kerang memperkuat, bahwa mereka adalah sang pengais kerang di utara Jakarta. Tapi siapakah dan darimanakah mereka itu?

Penduduk yang kuamati ini, bertempat tinggal di Kalibaru Timur, Cilincing, Jakarta Utara. Mungkinkah mereka semua orang betawi asli? Sejurus kemudian, aku mendapati logat bicara mereka yang ngapak, lalu aku menemukan bahwa mereka memang berasal dari Indramayu, Jawa Barat. Selain itu, ada juga orang bugis dari Sulawesi Selatan. Penduduk di sana memang didominasi oleh ketiga suku tersebut yaitu orang Betawi, Bugis dan Indramayu.

Menit demi menit, kata demi kata berbaris kalimat, mereka mulai bercertia tentang kehidupan yang sangat sederhana, meluncur dari seorang berperawakan sedang berkulit sawo matang. Sepintas dari nyaring suara dan gerak-geriknya, ia sepertinya masih muda. Ia bernama Nur, seorang ibu dari tiga anak yang masih berusia 30-an. Masih tergolong muda untuk memiliki tiga orang anak. Ibu Nur berusaha memperkenalkan aku pada situasi dan kondisi hidup di Kalibaru Timur, dimana aku akan tinggal bersama keluarganya selama 5 hari. Matanya berbinar, tetapi keningnya berkeringat, ia senang menyambutku tetapi masih lelah karena usai mengantarkan anaknya yang paling kecil ke RSUD Koja. Anak lelaki berumur 3 tahun itu bernama Asyraf, sedang sakit dan membutuhkan perawatan rutin, maka sang ibu dan ayah harus membawanya ke rumah sakit setiap minggu. Aku menyimak penjelasan mereka dan aku mulai merasuki jiwa yang mereka tularkan padaku. Aku mulai mendalami mata mereka, yang berbinar mendapatiku singgah di rumahnya. Aku disambut, dijamu dan dipanggil “Kakak”, sungguh mereka sangat baik padaku.

Cerita manis tetapi pilu ini pun dimulai…

Banyak orang berbicara bahwa Jakarta adalah tempat impian bagi semua orang untuk mencari uang.  Bagaimana tidak, penampakan gedung-gedung tinggi di berbagai sudut kota menjadi penegas pesatnya roda ekonomi di Ibu Kota ini. Namun, siapa sangka, di titik aku berdiri saat itu, aku sedang berada di sebuah rumah kecil, beralaskan tanah, tak berplafon dengan luas hanya sekitar 20 m2 dan dihunii oleh lima anggota keluarga. Ditambah minimnya fasilitas MCK dan akses air bersih, makin menjelaskan kontrasnya kehidupan di Jakarta.

foto2-kegiatan-megupas-kerang-59172266747a61bb1a8fec9f.jpg
foto2-kegiatan-megupas-kerang-59172266747a61bb1a8fec9f.jpg
Ibu Nur dan Pak Yanto, kedua orang tua angkatku di sana tidak memiliki pekerjaan yang tetap. Ibu adalah seorang buruh pengupas kerang yang berpenghasilan 20 perhari dan bapak, ia seorang teknisi mesin, yang hanya bekerja ketika ada panggilan mesin rusak. Maka, kedua orang tua tersebut, tak memiliki penghasilan yang tetap. Kerap kali mereka kebingungan untuk menutup pengeluaran setiap harinya, jika ibu tidak mengupas kerang, maka tidak akan ada pemasukan untuk hari itu. Sungguh aku merasakan pilu yang mereka alami. Untuk itu, aku membantu ibu mengupas kerang, bau menyengat dari rebusan kerang tak menghalangi semangatku bekerja. Saat itu yang ada di dalam pikiranku adalah aku tidak boleh menambah beban bapak dan ibu. Meskipun kerang yang terkumpul hanya 2 atau 3 kg setiap harinya, dan hanya dibayar 3000/kg. Hasilnya memang sedikit tetapi meskipun aku masih pemula, aku tidak takut duduk di tanah, memegang pisau kecil dan menguliti kerang. Semangatku begitu membara.

Ibu selalu bilang, lebih baik aku istirahat saja, karena ibu tidak tega melihat aku kepanasan di bawah terik matahari untuk mengupas kerang. Bayangkan betapa baik dan luhurnya hati Ibu Nur kepadaku, aku seperti dianggap anaknya sendiri. Bapak Yanto selalu khawatir kalau aku keluar rumah di malam hari, bahkan untuk sekedar berbincang mengenai tugas kelompok. Bapak begitu menjagaku, ya bapak bilang aku ini titipan yang harus dijaga amanahnya. Luar biasa hati dan budi baik mereka, mungkin rasa lelahku mengais kerang tak akan pernah sebanding dengan kasih yang mereka curahkan untukku.

Dibalik perhatian bapak dan ibu, terdapat perasaan sedih karena adikku Asyraf sedang sakit. Ibu bercerita perjuangan mereka untuk mengobati Asyraf, sejak lahir sampai hari ini. Ibu rela berjerih lelah mengupas kerang, agar bisa mempunyai ongkos untuk ke rumah sakit. Kata ibu, kalau tidak ada kartu jaminan kesehatan yang pemerintah sediakan, mungkin Bapak dan Ibu akan sangat kesulitan membawa Asyraf pergi berobat. Hingga saatku datang, pelan-pelan mulai kubantu ibu pergi menebus obat ke RSUD Koja, aku menggantikan ibu mengantri obat. Lelah memang, karena antrian cukup panjang, padahal aku baru sekali ikut. Aku sungguh bangga pada Ibu Nur, ia memiliki pribadi yang tangguh demi memperjuangkan anak-anaknya.

Anak-anak ibu pandai berbahasa!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun