Oleh: Stefanus Gega
Menjelang Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia ke-80, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan pemberian amnesti kepada Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, dan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong. Kebijakan yang disetujui DPR pada 31 Juli 2025 ini menuai kritik tajam dari berbagai pihak karena dianggap melemahkan penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi.
Melalui Surat Presiden (Supres) Nomor 42/PRES/07/2025, Presiden Prabowo mengusulkan pemberian amnesti kepada 1.116 terpidana, termasuk Hasto Kristiyanto, yang dihukum 3,5 tahun penjara karena terlibat dalam kasus suap kepada Anggota KPU, Wahyu Setiawan, untuk meloloskan Harun Masiku menjadi Anggota DPR melalui mekanisme pergantian antarwaktu. Sementara itu, melalui Supres Nomor R43/PRES/07/2025, abolisi diberikan kepada Tom Lembong, yang sebelumnya divonis hukuman 4,5 tahun penjara dalam kasus impor gula tahun 2015--2016 dan sedang menempuh upaya hukum banding. Sesuai Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 dan UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954, amnesti membebaskan Hasto dari hukumannya, sedangkan abolisi membebaskan Tom Lembong dari segala tuntutan hukum.
Pemerintah menyebut pemberian amnesti dan abolisi merupakan upaya perdamaian nasional dan rekonsiliasi politik pasca-Pemilu 2024. Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, menyatakan, "Sekaligus mempertimbangkan untuk membangun bangsa ini secara bersama-sama dengan seluruh elemen politik, kekuatan politik yang ada di Indonesia." Meski begitu, alasan ini tidak serta-merta diterima oleh publik. Sebaliknya, kebijakan tersebut menuai kritik keras dari berbagai pihak.
Kritik keras muncul karena kebijakan tersebut dinilai dapat melemahkan supremasi hukum. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menganggap pemberian amnesti dan abolisi semacam ini dapat menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum, khususnya dalam kasus korupsi yang seharusnya diproses melalui mekanisme peradilan yang independen. "Pemberian abolisi dan amnesti dalam perkara yang sarat muatan politik, seperti kasus yang menimpa Tom Lembong, dan dugaan tindak pidana korupsi, seperti kasus Hasto Kristiyanto, menimbulkan kekhawatiran serius," kata Direktur Eksekutif PSHK, Rizky Argama.
Kritik serupa disampaikan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), yang menilai kebijakan Presiden Prabowo tergolong prematur dan berbahaya bagi masa depan pemberantasan korupsi serta tatanan hukum Indonesia. Peneliti ICW, Yassar Aulia, mengatakan bahwa kebijakan seperti ini dikhawatirkan akan dimanfaatkan oleh para koruptor di kemudian hari. Menurutnya, penerapan amnesti dan abolisi dalam perkara korupsi tergolong sangat jarang dipraktikkan di Indonesia, bahkan belum pernah terjadi sebelumnya.
Merujuk pada informasi yang dihimpun Tempo, sejak Presiden Sukarno hingga Presiden Joko Widodo, praktik pemberian amnesti dan abolisi pada umumnya diberikan kepada narapidana yang terlibat dalam kasus pemberontakan atau gerakan yang mengganggu stabilitas politik negara dan keamanan nasional. Berikut adalah praktik pemberian amnesti dan abolisi dalam sejarah Indonesia:
Presiden Sukarno mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 449 Tahun 1961 yang memberikan amnesti dan abolisi umum kepada pimpinan dan anggota PRRI-Permesta serta Pemberontakan Aceh.
Presiden Soeharto, melalui Keppres 1977, memberikan amnesti dan abolisi kepada para pengikut gerakan Fretilin di Timor Timur, baik di dalam maupun luar negeri.
Presiden BJ Habibie memberikan amnesti kepada 18 tahanan politik kasus demonstrasi di Timor Timur yang sebelumnya ditangkap karena menghina Presiden Soeharto.
Presiden Abdurrahman Wahid memberikan amnesti kepada Ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD) serta aktivis HAM, Budiman Sudjatmiko, yang dipenjara pada masa Orde Baru atas tuduhan menjadi dalang kerusuhan peristiwa 27 Juli 1996.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan amnesti kepada seluruh pihak yang terlibat dalam aktivitas Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai bagian dari proses perdamaian di Aceh. Kebijakan ini tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2005.
Presiden Joko Widodo memberikan amnesti kepada Saiful Mahdi, seorang dosen Universitas Syiah Kuala Aceh, yang dijerat dengan UU ITE karena mengkritik hasil penerimaan CPNS di universitas tersebut pada 2018.
Meskipun belum ada praktik pemberian amnesti dan abolisi dalam kasus korupsi, sebagian pihak mendukung kebijakan yang dikeluarkan Presiden Prabowo. Gibran Center Sulsel mendukung keputusan tersebut sebagai bentuk implementasi mekanisme konstitusional sekaligus solusi sosiologis demi menjaga harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara. Sekretaris Gibran Center Sulsel, Illank Radjab, menyatakan, "Negara memang diberikan ruang untuk mengambil kebijakan luar biasa demi merawat keadilan dan stabilitas nasional."
Senada dengan Gibran Center Sulsel, Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) menyebut keputusan Presiden Prabowo membawa perdamaian nasional di tengah dinamika yang terjadi belakangan ini. Wakil Ketua Umum PKN, Gerry Habel Hukubun, menilai keputusan tersebut memiliki dampak positif pada tren politik saat ini. Selain itu, kebijakan ini juga memicu perdebatan sengit di media sosial.
Perdebatan terus bergulir di media sosial X, menunjukkan polarisasi yang signifikan. Akun X @nakal_33, dalam mengomentari postingan media pemberitaan @NarasiNewsroom, menyatakan, "Korupsi diganjar abolisi. Suap dibersihkan amnesti. Yang miskin dikejar bansos, yang nyolong negara malah dipeluk negara. Hukum tinggal formalitas, keadilan cuma opsi. Selamat datang di republik dagelan, di mana narasi lebih penting dari nurani." Pada postingan yang sama, akun X @negtivisme turut memberikan komentar, "Tapi untuk koruptor ini, jangan ada ampun deh." Namun, pengguna media sosial X lainnya memberikan dukungan terhadap kebijakan pemerintah sebagai upaya mendorong perdamaian nasional.
Sebagian pengguna media sosial X menilai kebijakan pemberian amnesti dan abolisi kepada kedua tokoh politik tersebut merupakan langkah strategis dalam penegakan hukum. Akun @AniAspara45265, dalam menanggapi postingan pakar hukum tata negara, Prof. Mahfud MD, yang mendukung kebijakan Presiden Prabowo, menyatakan, "Alhamdulillah. Indah banget langkah 'PS08'. Amnesti dan abolisi." Pada postingan yang sama, akun X @yohanes_endy ikut memberikan komentar, "Puji Tuhan, Alhamdulillah, sudah saatnya Pak Prabowo diangkat jadi pahlawan." Meski mendapat dukungan dari Mahfud MD, pakar hukum lain justru berbeda pendapat.
Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari, menilai bahwa pemberian abolisi dan amnesti dalam kasus korupsi seharusnya tidak dilakukan melalui jalur politik, melainkan jalur hukum formal. "Kasus ini kan kasus hukum, bukan politik," ujarnya.
Kebijakan ini juga dinilai dapat mengoyak komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Dosen Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, menyebut alasan pemberian abolisi dan amnesti tersebut sebagai upaya untuk menjaga kondusivitas politik semata. Namun, pihak Istana Kepresidenan menjelaskan lebih lanjut bahwa kebijakan tersebut diambil untuk menjunjung prinsip persatuan dan gotong royong, dengan tujuan mempersatukan seluruh elemen bangsa. Wakil Menteri Sekretaris Negara, Juri Ardiantoro, menyatakan bahwa pemberian amnesti dan abolisi dilakukan dalam rangka mempererat hubungan antarwarga negara, khususnya menjelang peringatan kemerdekaan.
Pemberian amnesti dan abolisi kepada Hasto dan Tom Lembong oleh Presiden Prabowo menjelang HUT RI ke-80 merupakan upaya ambisius pemerintah dalam merajut persatuan nasional dan rekonsiliasi politik pasca-Pemilu 2024. Namun, kebijakan ini juga memicu polarisasi tajam, di mana sebagian orang menganggap kebijakan tersebut sebagai cerminan kehadiran negara dalam penegakan hukum yang berkeadilan, sementara yang lain menunjukkan kekhawatiran mengenai implikasi hukum dari kebijakan tersebut terhadap pemberantasan korupsi dan supremasi hukum.
Oleh karena itu, untuk menjaga kepercayaan publik dan integritas sistem hukum, pemerintah harus memberikan penjelasan yang jelas, terbuka, dan berbasis fakta mengenai alasan di balik kebijakan ini, termasuk bagaimana amnesti dan abolisi diterapkan selaras dengan prinsip keadilan. Lebih jauh lagi, diperlukan pembentukan undang-undang baru yang mengatur secara ketat syarat dan prosedur pemberian amnesti dan abolisi, khususnya dalam kasus korupsi. Regulasi ini juga dapat memastikan hak prerogatif presiden tidak disalahgunakan. Dengan demikian, kebijakan serupa di masa depan dapat diimplementasikan secara adil dan tidak memicu kontroversi yang merugikan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI