Beberapa tahun terakhir, masyarakat Nusa Tenggara Timur, khususnya di Kota Kupang, tengah dihadapkan pada fenomena sosial yang menarik sekaligus mengundang perdebatan. Kota yang dulu dikenal tenang, bahkan sempat dijuluki “kota mati”, kini berubah menjadi kota yang “hidup” dengan maraknya pesta dan hiburan malam yang berlangsung hingga dini hari. Musik yang menggelegar, sorotan lampu, dan kerumunan anak muda yang larut dalam euforia kini menjadi bagian dari kehidupan malam Kupang. Namun, pertanyaannya: apakah semua itu benar-benar cerminan dari kebudayaan masyarakat NTT?
Kebijakan pemerintah kota untuk membatasi kegiatan hiburan malam sempat menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Kelompok pro berpendapat bahwa pesta malam merupakan wujud kebebasan berekspresi dan simbol keterbukaan masyarakat NTT yang dikenal ramah serta suka bersosialisasi. Sementara itu, kelompok kontra menilai bahwa fenomena ini merupakan bentuk pesta pora yang disamarkan dengan istilah budaya, karena lebih menonjolkan kesenangan sesaat ketimbang nilai sosial, moral, dan spiritual yang selama ini menjadi ciri khas masyarakat NTT.
Jika ditelaah lebih dalam, perdebatan ini sebenarnya berakar pada pergeseran makna budaya di tengah arus modernisasi dan globalisasi. Budaya sejati tidak diukur dari seberapa ramai sebuah pesta, melainkan dari seberapa dalam nilai dan makna yang terkandung di dalamnya. Dalam konteks ini, apa yang terjadi di Kupang tampak lebih menyerupai transformasi gaya hidup perkotaan — di mana modernitas sering kali diartikan sebagai kebebasan tanpa batas, tanpa disertai kesadaran terhadap nilai-nilai lokal yang mendasari kehidupan masyarakat.
Padahal, Nusa Tenggara Timur memiliki kekayaan budaya dan kearifan lokal yang jauh lebih pantas untuk diperkenalkan ke dunia. Misalnya, tenun ikat NTT yang sarat makna filosofis, mencerminkan kerja keras dan nilai kebersamaan masyarakat. Begitu pula tarian tradisional seperti Tari Tiba Meka dari Flores Timur dan Tari Likurai dari Belu, yang kerap tampil di berbagai festival budaya nasional hingga internasional, bahkan di Jepang dan Australia. Tarian-tarian ini bukan sekadar hiburan, melainkan bentuk penghormatan terhadap leluhur dan perayaan solidaritas sosial.
Selain itu, festival seperti Bale Nagi di Flores Timur dan Wolobobo Ngada Festival menjadi contoh nyata bagaimana budaya lokal dapat dipromosikan secara bermartabat. Kedua festival tersebut menampilkan pameran tenun, kuliner lokal, musik tradisional, dan ritual adat yang mengajarkan nilai harmoni antara manusia, alam, dan pencipta. Nilai-nilai luhur seperti inilah yang seharusnya menjadi wajah budaya NTT, bukan pesta malam yang kehilangan arah makna.
Budaya sejati masyarakat NTT sesungguhnya berakar pada semangat kebersamaan dan kearifan lokal — seperti ungkapan “Katong Samua Basodara” yang mencerminkan persaudaraan lintas suku, agama, dan pulau. Inilah nilai yang harus dijaga dan diwariskan kepada generasi muda di tengah derasnya arus modernitas.Budaya sejati masyarakat NTT sesungguhnya berakar pada semangat kebersamaan dan kearifan lokal — seperti ungkapan “Katong Samua Basodara” yang mencerminkan persaudaraan lintas suku, agama, dan pulau. Inilah nilai yang harus dijaga dan diwariskan kepada generasi muda di tengah derasnya arus modernitas.
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat dan pemerintah daerah untuk membangun kesadaran budaya yang lebih sehat. Promosi budaya hendaknya diarahkan pada kegiatan yang edukatif dan berkarakter, seperti pameran tenun, festival kuliner tradisional, lomba tari adat, atau diplomasi budaya ke luar negeri. Dengan begitu, NTT dapat dikenal bukan sebagai “provinsi pesta”, tetapi sebagai provinsi berbudaya — daerah yang hidup, dinamis, namun tetap berakar kuat pada nilai-nilai luhur dan kearifan lokalnya.
Pada akhirnya, pesta boleh menjadi bagian dari cara manusia merayakan hidup, tetapi budaya adalah cara manusia memberi makna pada kehidupan itu sendiri. Masyarakat NTT memiliki warisan nilai yang luhur — kesederhanaan, solidaritas, dan penghormatan terhadap sesama serta alam. Jangan sampai gemerlap lampu pesta menutupi cahaya kearifan lokal yang sesungguhnya menjadi identitas kita. Jika budaya terus dijaga dengan kesadaran dan rasa hormat, maka modernitas bukanlah ancaman, melainkan jembatan menuju masa depan NTT yang lebih beradab dan bermartabat.