Mohon tunggu...
st aisyah rustam
st aisyah rustam Mohon Tunggu... Mahasiswa, Prodi Bahasa Dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia

Menonton, Baca Mangaton

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Pamali Dalam Masyarakat Indonesia : Analisis Logika Di Balik Mitos Dan Tradisi

14 Mei 2025   12:58 Diperbarui: 14 Mei 2025   12:58 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Pamali adalah suatu larangan yang dikenakan kepada individu saat melakukan tindakan tertentu, di mana pelanggarannya dapat mengakibatkan masalah atau bencana bagi individu tersebut atau orang-orang di sekitarnya. Pamali juga merujuk pada pantangan atau hal-hal yang tidak seharusnya dilanggar dalam masyarakat, yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam konteks masyarakat secara umum, pamali bertujuan untuk mendorong kehati-hatian, kewaspadaan, penghormatan, serta tindakan yang sesuai dengan waktu dan tempat. Meskipun terdapat berbagai mitos yang beredar, pamali sebenarnya dapat dijelaskan dengan logika dan niat baik, sehingga kita dapat memahami bahwa hukum sebab akibat itu nyata dan bukan sekadar mitos semata.

Pamali sering kali mencakup praktik atau kepercayaan yang dianggap tabu atau tidak layak dalam suatu komunitas. Ini termasuk larangan terhadap perilaku tertentu atau tindakan yang dianggap melanggar norma atau tradisi yang dihormati oleh masyarakat sebelumnya. Meskipun banyak budaya pamali berakar pada tradisi atau kepercayaan, ada kalanya budaya ini juga didasarkan pada mitos atau keyakinan yang tidak memiliki dasar fakta atau realitas yang jelas.

Pamali, sebagai bagian dari tradisi masyarakat Indonesia, sering kali dianggap sebagai warisan budaya yang sarat dengan nilai-nilai moral dan kearifan lokal. Namun, di balik mitos dan larangan yang menyertainya, terdapat analisis logika yang dapat dijelaskan secara rasional. Misalnya, larangan memotong kuku di malam hari,  Salah satu bentuk larangan pamali yang terdapat di Indoneisa larangan untuk memotong kuku dimalam hari. Budaya pamali ini sering kali dianggap sebagai mitos sekaligus fakta.

Menurut kepercayaan zaman dahulu , memotong kuku di malam hari dapat mendatangkan kesialan atau meningkatkan kemungkinan sakit, yang mencerminkan kepercayaan tradisional. Namun, dalam masyarakat Indonesia larangan ini menjadi alasan bahwa memotong kuku di malam hari dapat membuat kuku yang dipotong tidak rata mengakibatkan kuku berisiko terpotong. Oleh karena itu, larangan tersebut menjadi dasar yang kuat. 

Menurut ahli Aquinas adalah filsuf teolog, ia menggunakan logika akal sehat untuk membedakan antara takhayul dan kebenaran. Ia akan memisahkan larangan berbasis agama dengan budaya lokal yang tidak memiliki dasar rasional. Aquinas juga berargumen bahwa larangan tanpa penjelasan logis atau teologis adalah adat, bukan kebenaran mutlak, Jika tujuannya keselamatan, solusinya adalah teknik memotong kuku yang benar, bukan pantangan waktu. Sedangkan Karl Popper, filsuf ilmuwan terkenal dengan teori falsifikasi, akan mempertanyakan dasar empiris larangan ini. Menurutnya, suatu kepercayaan harus bisa diuji dan berpotensi dibuktikan salah. Jika tidak ada bukti statistik bahwa memotong kuku malam hari menyebabkan kesialan atau kecelakaan, maka larangan ini hanyalah mitos tanpa dasar logis. Karl Popper berargumen bahwa tidak ada korelasi ilmiah antara waktu memotong kuku dengan nasib buruk, jika ada kasus kuku terpotong tidak rata, itu masalah teknik, bukan waktu. 

Beberapa pamali juga memiliki dasar fungsional, seperti larangan terlambat bangun dipagi hari, larangan ini berkaitan dengan mitos bahwa bangun kesiangan di pagi hari bisa menghambat rezeki atau memperlambat pertemuan dengan jodoh. Di sisi lain, larangan ini mungkin muncul dari kebiasaan untuk memanfaatkan waktu produktif dan mempersiapkan diri menjalani aktivitas sehari-hari. Bangun pagi sering dianggap sebagai tanda kedisiplinan dan kesiapan untuk memulai hari dengan semangat, sementara bangun terlambat bisa dianggap sebagai tanda kemalasan atau kurangnya komitmen. Selain itu, bangun pagi juga bermanfaat untuk meningkatkan fokus, menjaga kesehatan, serta mendukung kelancaran aktivitas sehari-hari dengan kondisi tubuh yang lebih segar dan fit. 

Menurut ahli Ahimsa-Putra menegaskan bahwa banyak larangan tradisional, termasuk bangun kesiangan, adalah bentuk "mitos fungsional" untuk mengontrol masyarakat. Menurutnya, di era modern, produktivitas tidak selalu bergantung pada bangun pagi, melainkan pada manajemen waktu dan kebiasaan individu. Ia mencontohkan pekerja kreatif atau shift malam yang justru produktif di luar jam konvensional. 

Dan larangan untuk tengkurap yang sering dianggap dapat menyebabkan kematian bagi orang tua atau keluarga. Tengkurap bisa mengganggu pernapasan karena posisi ini menghalangi aliran udara, sehingga membuat pernapasan sulit. Selain itu, tengkurap juga dapat mempengaruhi sistem pencernaan dengan mengganggu aliran makanan dan cairan, yang dapat menyebabkan masalah seperti refluks asam. Oleh karena itu, larangan tengkurap dapat dimaklumi sebagai usaha untuk mendorong posisi tidur yang lebih baik dan mengurangi risiko masalah kesehatan. 

Menurut Aristoteles, larangan tengkurap yang dihubungkan dengan kematian keluarga adalah kesalahan logika. Secara medis, tengkurap bisa mengganggu pernapasan atau pencernaan, tetapi klaim bahwa posisi ini menyebabkan kematian adalah takhayul. Larangan ini lebih berdasarkan budaya daripada ilmu pengetahuan, karena tidak ada bukti bahwa tengkurap berdampak pada orang lain. Selain itu, mitos larangan tengkurap sering kali dikaitkan dengan kepercayaan tradisional yang bersifat simbolis, di mana posisi tubuh dianggap memiliki pengaruh magis atau spiritual terhadap keluarga. 

Namun, secara rasional, seperti yang ditunjukkan oleh pendekatan Aristoteles, hubungan antara tengkurap dan kematian orang tua tidak memiliki dasar logis atau ilmiah. Larangan semacam ini lebih mencerminkan upaya masyarakat masa lalu untuk menciptakan norma-norma perilaku yang dianggap "aman" atau "baik," meskipun tanpa dukungan fakta medis. Di sisi lain, saran untuk menghindari tidur tengkurap demi kesehatan pernapasan dan pencernaan memang memiliki dasar ilmiah, tetapi ini murni berkaitan dengan kesejahteraan individu, bukan orang lain. Dengan demikian, meskipun larangan tengkurap bisa dipahami sebagai bentuk kearifan lokal, penting untuk membedakan antara mitos yang bersifat takhayul dan nasihat kesehatan yang berbasis bukti.

 Dengan demikian, meskipun pamali sering kali dibungkus dalam narasi mitos, analisis logika menunjukkan bahwa banyak di antaranya memiliki tujuan praktis atau nilai edukatif. Pendekatan filsuf seperti Aquinas, Popper, dan Aristoteles mempertegas bahwa pemisahan antara takhayul dan kebenaran rasional penting untuk memahami pamali secara lebih objektif. Hal ini membuka ruang bagi masyarakat untuk menghargai tradisi tanpa terjebak dalam klaim-klaim yang tidak berdasar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun