Mohon tunggu...
Hazmi SRONDOL
Hazmi SRONDOL Mohon Tunggu... Penulis/Jurnalis

Jika kau bukan anak Raja, bukan anak Ulama. Menulislah...

Selanjutnya

Tutup

Humor

Asbak Portabel, Pelajaran Etika Merokok Ala Jepang

8 Juli 2012   14:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:10 2584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13417566531199141261

“Bapak, aku tidak mau lewat jalan yang itu” kata anakku sambil menyembunyikan wajahnya di belakang punggungku saat melewati salah satu lorong rumah sakit Persahabatan, Rawamangun

“Ada apa mas?” kataku keheranan

“Gambar itu menyeramkan pak” tunjuknya sambil mengintip dari balik punggungku.

Oh, sekilas aku melirik gambar banner yang dimaksud. Benar, gambar itu menyeramkan sekali. Beberapa gambar organ-organ yang tampak rusak dan cacat digabungkan menjadi satu. Gambar khas kampanye anti rokok.

“Kita salah rumah sakit mas, temen bapak ternyata bukan di sini. Rumah sakit yang lain” jelasku sambil memeluknya dan berjalan menuju pintu keluar rumah sakit.

“Di sana ada gambar menyeramkan itu lagi nggak pak?” tanyanya dengan nada masih ketakutan.

Aku terdiam, tidak bergitu yakin juga apakah rumah sakit tempat mbak Ajeng dirawat ada gambar kampanye anti rokok yang menyeramkan itu atau tidak.

Syukurlah, sampai di lokasi tempat mbak Ajeng di rawat, tidak kami temukan gambar menyeramkan itu lagi. Walau ketakutan masih tersisa di bias wajah anak laki-laki yang mewarisi sebagian besar ketampananku ini saat hendak masuk ke ruang rawat.

...........

“Kenapa dokternya melarang bapak merokok?” tanyanya di rumah setelah beberapa saat kami sampai dan leyeh-leyeh di teras.

“Apa dokternya mengira bapak tidak bisa mencari uang sendiri ya pak?” tanyanya kali ini lagi dengan wajah yang sangat serius.

Aku dan istriku saling bertatapan. Tidak kami sangka, perihal janji ala ‘pria dewasa Jawa’ yang sering kami bincangkan dengan istriku diam-diam diingatnya dengan baik.

Memang, dahulu almarhum bapakku sering melarangku merokok. Tapi tidak secuilpun membahas soal penyakit atau hal-hal menyeramkan lainnya. Bapakku hanya melarang aku merokok jika belum mampu mencari uang sendiri. Suatu larangan sekaligus tantangan bagi seorang pria muda sepertiku untuk bisa segera mencari uang sendiri, bukan sekedar agar diperbolehkan merokok tetapi sebuah inputan kesadaran bahwa bisa mencari uang bagi seorang laki-laki adalah sebuah tanda kedewasaan bagi kaum lelaki Jawa sekaligus tanda siap bertanggung jawab dengan keluarga.

Saat akhirnya aku mampu mempunyai pekerjaan tetap dan sudah benar-benar diperbolehkan merokok, ada hal lain yang ternyata aku belum sadari dari ijin merokok ini. Pakde, kakak kandung bapakku pernah suat hari mengamati cara merokokku. Dari beliaulah aku di beri nasihat lain tentang etika dan prosedur merokok.

Pakde dengan lugas memberitahukan bahwa perokok itu ada kelas-kelasnya. Dari kelas ecek-ecek hingga perokok berkasta tinggi, kasta yang di bentuk dari waktu, tempat, cara menyalakan, menaruh rokok di asbak hingga batas dimana rokok harus di matikan.

Aku dahulu sempat kebingungan dengan prosedur dan etika merokok ala pakde ku ini. Hingga semuanya terjawab saat beberapa tahun yang lalu aku ditugaskan kantor untuk pergi ke Jepang. Disanalah aku baru menyadari benar, apa yang dinasehatkan pakde ini sangat benar.

Jepang, negara yang pernah mengklaim sebagai saudara tua Indonesia ini mengajarkan banyak hal tentang etika merokok bagiku. Negara dengan persentase perokoknya mencapai 39% dari jumlah penduduknya, jauh diatas Indonesia yang berkisar 28%. Anehnya lagi, dengan presentase perokok sebesar itu, Jepang merupakan negara dengan usia harapan hidup terpanjang di dunia. 79 tahun untuk pria nya dan 86 tahun untuk para wanitanya. Lebih mengejutkan lagi, Tokyo—Ibukota negaranya juga tampak begitu bersih, berbeda dengan Jakarta yang nauzubillah kotornya.

Pertanyaan mendasar yang membuatku bertanya-tanya, kenapa dunia perokok di Jepang begitu berbeda dengan Indonesia. Bahkan kalau boleh diakui, perokok paling berkasta tinggi adalah mereka. Dari hasil browsing dan pengamatan langsung aku pun semakin sadar. Etika dan disiplin ala samurai benar-benar menjiwai penduduknya.

Bayangkan saja, soal cara pembelian rokok yang mesti melalui mesin rokok dengan kartu TASPO—sebuah passport buat mereka yang boleh merokok. Teknis dari janji ‘dewasa’ ala pria Jawa dari bapakku dulu. Hingga soal tempat merokok yang khusus dan yang paling PENTING bagiku adalah budaya asbak portabel. Hal sekaligus budaya yang tidak pernah ada di Indonesia!

[caption id="attachment_199515" align="aligncenter" width="581" caption="Asbak portable, koleksi pribadi"][/caption]

Portable Ashtray, asbak yang bisa dibawa-bawa dengan bentuk yang beraneka rupa. Dari yang mirip dompet kecil, kotak besi mirip korek zippo hingga tabung kecil yang bentuknya sangat menarik. Aku sempat memiliki asbak portabel ini, namun sayangnya hilang entah kemana.

Untung saja, suatu hari aku melihat ada sebuah toko aneka barang Jepang di Mal Artha Gading. Kalau tidak salah, toko itu bernama DAISHO. Disana aku melihat ada beberapa model portable ashtray, walau jumlahnya tidak sebanyak di Jepang. Tapi sudah cukup untuk membuatku untuk membeli satu buah untuk belajar membiasakan membawa asbak portabel ini.

Beberapa kali aku sengaja memamerkan asbak seharga 22 ribuan ini ke rekan-rekanku. Ada yang menyambutnya secara positif gerakan Perokok Beretika ala ku. Namun tidak sedikit pula yang malah ngeledek dan menyampaikan bahwa budaya tersebut hanya cocok untuk negara Jepang yang segala sesuatunya serba mini, dari mobil mini, rumah mini hingga rok mini. Kalau Indonesia, katanya adalah negara besar sekaligus negara asbak terbesar, sekali wuuuzzz! puntung nyemplung di selokan. Salah satu asbak terbesar di dunia.

............

“Bapak, dokter itu baik banget ya” kata anakku sambil memelukku di belakang motor sore tadi.

“Kenapa emangnya mas?” katakku heran.

“Bapak nggak dilarang merokok, cuman disuruh rajin sikat gigi” jawabnya sambil tetap memeluk punggungku.

Ya iyalah mas, bapak kan cuman ke dokter gigi.

[Bekasi, 8 Juli 2012]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun