Mohon tunggu...
Sri Rohmatiah Djalil
Sri Rohmatiah Djalil Mohon Tunggu... Wiraswasta - Petani, Penulis

People Choice dan Kompasianer Paling Lestari dalam Kompasiana Awards 2023.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Surat untuk Keluarga di Rumah Kenangan

9 Mei 2021   12:25 Diperbarui: 9 Mei 2021   12:31 745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dear adikku,

Lebaran tiba, lebaran tiba, lebaran tiba ... ini lebaran kedua aku tidak pulang. Alasannya sudah tepat, ada larangan dari pemerintah untuk mudik. Jika pun mudik harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan. Selain itu aku punya alasan sendiri, kenapa tidak mudik.

Kita ingat sebelum Ramadan, tepatnya awal April. Secara tiba-tiba aku datang ke rumah tanpa bicara. Ini di luar kebiasaan. Aku berpikir, sebelum puasa ingin minta maaf, sungkem ke Ibu dan nyekar ke makam Bapak. Ibu pun riang menyambut dari pagar.

Adik bilang, "Mimi sudah bicara terus ingin bertemu dengan anak-anak dan cucu sebelum puasa, ternyata keinginannya tembus ke hati Teteh."

Malam itu bersama Mimi, sebutan untuk Ibu. Aku ngobrol ngaler ngidul hingga tengah malam sambil memijat kakinya.

"Mi, ko jadi kurus gini, pas uih umroh meni gendut," ujarku.

"Ya tos tua paling, di rumah padahal makan tidur, gak capek."

"Ikut ka Madiun yu!"

Aku sudah tahu jawabannya tidak mau karena di rumah ada adik laki-laki yang belum nikah. Alasannya selalu sama, "Kasihan adikmu, gak ada yang masakin." Kata orang bijak, "Orang tua itu ingin menghabiskan masa tuanya di rumah sendiri."

Pagi itu Mimi sibuk memasak untuk cucunya, tidak banyak, hanya tempe goreng tepung, katanya, "Ini kesukaan Farhan." Aku hanya senyum sambil memotong sayuran. Mungkin aku terlihat sadis membiarkan orang tua masak? Tidak. Sebelumnya aku sering melarang Mimi masak ketika mudik. Ternyata itu salah. Laranganku akan membuat orang tua sedih.

Aku teringat kisah seorang professor yang pulang ke rumah ibunya waktu tengah malam. Ibunya sangat gembira dan menghidangkan makan malam, sayur asem, ikan asin, sambel. Bisa dibayangkan, tengah malam makan sayur asem, tentu rasanya tidak nikmat. Demi menyenangkan hati orang tua, profesor itu memakannya. "Jangan tolak makanan yang dibuat ibumu, karena itu akan melukai hatinya."

Satu hari itu aku habiskan waktu bersama Mimi, hingga malam tiba pamit pulang karena besok pagi anak-anak harus sekolah virtual.

"Sekolah dari sini saja, kan online sanes?" katanya penuh harap.

"Nanti lebaran ke sini lagi, Mi ... Mimi sehat ya, jangan banyak pikiran!" aku menciuminya, rasanya ada beban berat hendak meninggalkan Mimi.

"Sini ... aku pijeti dulu kakinya, biar malam bisa tidur nyenyak!" kataku lagi sambil menggandeng Mimi ke kamar. Mimi menolak karena di luar Suami dan anak-anak sudah menunggu, tetapi aku paksa, dengan alasan, "Biarkan saja mereka menunggu, biar agak malaman pulangnya, jadi gak berhenti di rest area."

Perjalanan lima jam bagi Pak Edi yang membawa kendaraan pribadi adalah kecil, dia hanya membutuhkan waktu istirahat satu kali untuk minum kopi dan merokok di rest area. Sedangkan anak-anak akan tidur lelap hingga sampai rumah. Aku dan suami sesekali mengajak ngobrol, setelahnya akan tidur lagi.

Adikku, takdir tidak dapat ditolak, awal puasa, aku mendapat kabar Mimi sakit parah. Akhirnya aku kembali berdua dengan Suami. Setelah diskusi dengan dokter, adik-adik dan sudah ngobrol sebentar dengan Mimi, aku kembali ke rumah. Pekan depan akan datang lagi. Lagi-lagi rencanaku meleset, dua hari kemudian aku balik lagi ke rumah sakit setelah mendengar Mimi kritis.

Dua pekan aku meninggalkan Suami dan anak-anak. Mereka menjalani bulan Ramadan tanpa ibunya. Aku pun menjalankan puasa di rumah sakit, berat? Tidak jika dibandingkan penderitaan Mimi yang sakit secara tiba-tiba.

Selama aku dibesarkan hingga memiliki dua anak. Mimi tidak penah sakit parah hingga dirawat di rumah sakit apalagi masuk ICU. Ini tamparan keras bagiku, apa selama ini tidak pernah memperhatikan kesehatannya? Yang  dilihat hanya senyumnya, gerakannya yang lincah, makanannya yang sehat.

Kebersamaan awal April adalah kebersamaan terakhir, karena akhir April Mimi dipanggil Allah Swt. Rumah kenangan itu. Akan menyimpan semua peristiwa yang lalu.

Setelah Mimi tiada, adakah yang rindu, masihkah ada yang menunggu?

Jika aku pulang nanti, akankah ada yang menyambut di pintu?

Lebaran ini aku tidak pulang dulu.

Salam sayang untuk keluargaku di rumah kenangan.

Sri Rohmatiah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun