Hingga di ujung waktu, perawat mengambil alat komunikasi yang ada di tangan.
"Sudah, Bu."
Berlari ke luar, menangis sejadi-sejadinya.Â
"Pak Edi cepat ke rumah ya, ajak Pak Su nyusul ke Majalengka, Mimi koma!" perintah saya kepada Pak Edi yang biasa mengantar keluarga kami.
Kembali ke ruang ICU. Ternyata semua alat sudah dicopoti. Mimi hampir mau ditutup kain.
Saya tadi tidak bisa menangkap apa kata perawat, "Sudah, Bu" itu artinya Mimi sudah tiada.Â
"Sabar ya, Teh!" kata Adik lirih.
"Ikhlas ya, Bu, sudah takdirnya Mimi meninggal di masa pandemi dan terpapar virus. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Ini hanya jalan menuju Allah SWT.," ujar dokter.
"Sesuai kesepakatan pemakaman sesuai prokes." Suster menambahkan.
"Keluarga boleh menyaksikan pengurusan jenazah, mensalatkan di ruang tadi."
Saya pernah memandikan jenazah adik ipar, mertua. Ketika Mimi meninggal tidak bisa melakukan apa-apa. Hanya melihat sambil tahlil, itu pun terhalang kaca tebal. Rasanya sakit hati. Air mata tak henti-hentinya mengalir.
Satpam yang sejak tadi berada di ICU mengingatkan kami untuk berwudhu. Kami bersyukur bisa menyaksikan proses pengurusan jenazah dan mensalatkan bersama adik-adik.
Allah SWT. memberi kemudahan lain, ketika hendak ke pemakaman. Mobil jenazah masuk ke halaman mushala yang ada di depan rumah.
Warga langsung melaksanakan salat jenazah dan tahlil.
Suatu keajaiban, walaupun dengan keterbatasan waktu, jenazah Mimi bisa berada di depan musala.
Musala itu tempat Mimi beribadah dan belajar. Sementara Bapak yang meninggal 4 tahun lalu, turut berperan dalam pembangunan Musala tersebut.