Selain itu guru perlu membuat keyakinan serta kesepakatan dalam kelas. Keyakinan kelas ini memuat nilai-nilai kebijakan universal. Mengupayakan murid meyakini nilai kebajikan yang telah dikomunikasikan dan disepakati bersama antara guru dan murid.Â
Dengan adanya kesepakatan kelas, komunikasi dan hubungan baik berusaha selalu dibangun antara guru dan murid. Guru mencoba memahami apa saja kebutuhan dasar murid-muridnya.
Ada lima kebutuhan dasar murid yaitu kebutuhan untuk dapat bertahan hidup yang didapatkannya dari sandang, pangan, papan; kebutuhan akan rasa kasih sayang dan penerimaan yang diperoleh dari rasa kasih sayang, kepedulian,kerja sama;kebutuhan akan kekuasaan yang diperoleh dari prestasi, usaha dan pencapaiannya; kebutuhan kebebasan akan pilihan yang diperoleh dari kemerdekaan memilih dan mengeksplorasi; yang terakhir adalah kebutuhan akan kebahagiaan yang diperoleh dengan cara bermain atau bersenang-senang.
Perlu kita pahami bahwa guru tidak bisa mengontrol murid untuk melakukan apa saja yang kita inginkan. Hukuman atau penghargaan bahkan tidak mampu mengubah perilaku murid menjadi apa yang kita inginkan. Hanya kita yang dapat mengontrol diri kita sendiri, dan setiap lerilaku murid pasti memiliki alasan dan tujuan.Â
Sehinga motivasi perilaku yang diharapkan tumbuh dari murid adalah motivasi internal yang berasal dari dalam, menghargai dirinya sendiri. Ini adalah tujuan disiplin positif yang ingin kita capai dalam mengoptimalkan peran guru mewujudkan budaya positif sekolah.
Guru juga perlu memposisikan diri di posisi kontrol yang tepat. Posisi kontrol guru sebagai penghukum, pembuat merasa bersalah, sebagai teman, serta posisi pemantau masih belum optimal dilaksanakan karena motivasi perilaku murid yang muncul saat memposisikan diri sebagai posisi kontrol tersebut adalah motivasi eksternal yang berasal dari luar.Â
Untuk menghindari hukuman maupun untuk mendapatkan penghargaan dari orang lain. Posisi kontrol yang diharapkan dilakukan guru adalah sebagai manajer yang mendukung murid menemukan solusi atas permasalahannya sendiri. Guru dan murid berkolaborasi dalam menekankan apa upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kesalahan atau perilaku murid, bukan fokus pada kesalahan murid.
Upaya berikutnya guru dan murid perlu menjalankan suatu proses dialog agar dapat mewujudkan murid yang mandiri dan bertanggung jawab. Upaya ini dikenal dengan istilah restitusi. Ada tiga langkah dalam menjalankan segitiga restitusi. Langkah pertama adalah menstabilkan identitas berdasarkan prinsip membuat kesalahan adalah bagian dari proses pembelajaran disiplin positif.
Langkah kedua adalah memvalidasi tindakan yang salah dengan berdasarkan prinsip setiap perilaku dilakukan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan tertentu. Langkah ketiga adalah menanyakan keyakinan berdasarkan teori kontrol yang menyatakan bahwa pada dasarnya murid perlu ditumbuhkan motivasinya secara intrinsik.
Guru memang berperan sentral dalam mewujudkan budaya positif di lingkungan sekolah, namun apalah artinya jika tidak ada dukungan stakeholder dan kolaborasi antara murid, rekan kerja, orang tua, kepala sekolah, dan masyarakat.
Sudah saatnya mengubah paradigma kita tentang penerapan budaya positif di sekolah. Mari memulai dari diri kita,mulai dari kelas kita, mulai dari hal-hal yang terkecil, dan mulai saat ini juga.