Mohon tunggu...
Sri Patmi
Sri Patmi Mohon Tunggu... Penulis - Bagian Dari Sebuah Kehidupan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis adalah Bagian dari Self Therapy www.sripatmi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Buku Cetak Sri Patmi: Menata Kiblat Syariah di Negara Pancasila

11 April 2021   10:54 Diperbarui: 11 April 2021   10:58 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Namun, dalam perjalanan bangsa ini pasca-Reformasi Mei 1998, yang menjatuhkan rezim otoriter Soeharto dan membuka lebar iklim kebebasan, sempat muncul lagi tawaran-tawaran alternatif. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Amien Rais, misalnya, pernah mewacanakan sistem negara federal, yang dianggap lebih pas untuk menyelesaikan berbagai gejolak di Indonesia pasca-Soeharto. Namun, wacana federal ini tidak begitu bergaung. Kemudian, ada yang menawarkan pilihan yang terang-terangan bertentangan dengan Pancasila, seperti bentuk negara agama dan sistem pemerintahan Khilafah. Alternatif ini diajukan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). HTI secara organisasi kini sudah dilarang di Indonesia, namun mantan pengikutnya tampaknya masih terus memperjuangkan gagasan negara agama ini. Ada juga tawaran yang lebih abu-abu. Belum lama ini, pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab mengeluarkan konsep NKRI Bersyariah. Konsep ini "lebih moderat" daripada tawaran negara agama dari HTI, karena masih menyebut kata "NKRI." Beberapa kali Rizieq Shihab mengutarakan gagasan itu, khususnya sejak Aksi 212 tahun 2016, yang diulangi lagi pada Reuni 212 tahun 2017. Sayangnya, belum jelas benar, "NKRI Bersyariah" seperti apa yang dimaksud Rizieq itu, sehingga Denny meminta kejelasan lebih jauh. 

Pertama, konsep Rizieq itu --menurut Denny-- perlu dioperasionalkan. Nilai "Bersyariah" itu harus diturunkan dan diterjemahkan ke dalam indeks yang terukur. Kedua, setelah menjadi indeks yang terukur, maka indeks itu harus diuji dengan melihat dunia berdasarkan data. Apakah ada negara di dunia, yang bisa dijadikan referensi tertinggi skor indeks Negara Bersyariah (perluasan dari NKRI Bersyariah)? Jika Rizieq sudah melakukan dua tahapan itu, barulah gagasan "NKRI Bersyariah" itu layak diuji secara akademik. Nah, dalam kaitan mencari indeks "Negara Bersyariah" itulah, ternyata di luar negeri sudah ada sejumlah lembaga riset yang melakukannya. Tentunya, yang diukur oleh mereka tidak persis tentang gagasan "NKRI Bersyariah" usulan Rizieq, tetapi tentang indeks "keislaman" sebuah negara. Ada lembaga bernama Yayasan Islamicity Index, yang dipimpin oleh Hossein Askari (ekonom), Hossein Mohammad Khan (spesialis keuangan), Liza Mydin (ekonomi Islam), dan Mostafa Omidi (spesialis web). Yayasan ini berniat ingin melembagakan ruang publik, sesuai dengan arahan kitab suci Alquran. 

Mereka menurunkan aneka nilai yang direkomendasikan Alquran ke dalam sebuah indeks. Nilai-nilai itu, di antaranya: keadilan, kemakmuran, pemerintahan yang bersih, dan penghormatan pada manusia. Aneka nilai itu dibagi ke dalam empat kategori: Economic Islamicity, Legal and Governance, Human and Political Rights, dan International Relation Islamicity Index. Tim ini merumuskan nilai Alquran hanya pada sisi hubungan sosial saja. Berdasarkan indeks Islamicity tahun 2017, ternyata 10 negara yang paling Islami, yang paling tinggi skor Islamicitynya adalah negara di Barat. Seperti: Selandia Baru, Belanda, Swedia, Irlandia, Swiss, Denmark, Kanada, dan Australia. Sedangkan, negara yang mayoritasnya muslim justru skor Islamicitynya biasa saja dan cenderung rendah. Seperti: Malaysia (peringkat 43), Uni Emirat Arab (peringkat 47), Indonesia (peringkat 74), dan Arab Saudi (peringkat 88). Kesimpulannya: Masyarakat yang mempraktikkan nilai-nilai sosial yang Islami, yang dianjurkan Alquran, ternyata justru terdapat di negara Barat. Ironisnya, banyak negara yang bahkan berlabel negara Islam gagal meraih peringkat teratas dalam mempraktikkan nilai yang Islami. Selain yayasan itu, PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) juga mengembangkan indeksnya sendiri, untuk mengukur kemajuan bangsa. Kemajuan sebuah negara tak bisa diukur hanya oleh kemajuan ekonomi. Negara juga harus mampu membuat warganya bahagia. Untuk bahagia, tak cuma kebutuhan dasarnya harus tercukupi. Tetapi, perlu tercipta ruang sosial yang penuh dengan trust, tolong menolong, xiv | Menata KIblat Syariah di Negara Pancasila dengan pemerintahan yang bersih dan kompeten. Inilah yang dinamakan World Happiness Index. Ternyata, berdasarkan World Happiness Index, 10 negara yang tertinggi skor Happiness Index-nya tak beda jauh dengan Islamicity Index. Pada 2018, sepuluh negara itu adalah: Finlandia, Norwegia, Denmark, Islandia, Swiss, Belanda, Kanada, Selandia Baru, dan Australia. Mayoritas negara muslim berada di level tengah. Indonesia berada di bawah top 50. Dari situ, Denny beranggapan, pada dasarnya nilai terbaik dari Islam --sebagaimana agama lain-- jika diuniversalkan, itu sama dengan aneka nilai manusiawi yang dirumuskan oleh peradaban mutakhir. Nilai yang Islami itu ternyata juga nilai yang manusiawi. Itulah ruang publik yang universal, yang bisa dinikmati semua manusia, apapun agama dan keyakinannya. Semua negara modern pada dasarnya mencoba memiliki Ruang Publik yang Manusiawi. Maka para pendiri bangsa sudah benar, ketika mereka merumuskan fondasi bangsa. Di antara pendiri bangsa juga terdapat tokoh muslim, yang pengetahuan keislaman dan integritas pribadinya tak diragukan. Mereka telah bersepakat, fondasi bangsa yang tepat itu adalah Pancasila, bukan NKRI Bersyariah! Menurut Denny JA, soal fondasi bangsa ini sekarang sudah selesai. Pancasila sudah memadai mengantar Indonesia menggapai ruang publik yang manusiawi. Inilah kesimpulan akhir dari pandangan Denny. Namun, Denny tetap membuka ruang untuk masukan, kritik, sumbang saran, serta permerkayaan wawasan, dari seluruh anak bangsa yang ingin berkontribusi. Dengan latar belakang seperti itulah, Denny mengunggah tulisannya di media sosial, untuk memancing reaksi dan tanggapan dari berbagai kalangan yang memiliki keprihatinan yang sama. Kali ini, masyarakat umum dan wartawan diminta dan dibebaskan untuk memberi tanggapannya. Untuk menjaring tulisan mereka, diadakanlah lomba penulisan artikel kebangsaan melalui kerjasama antara PWI Pusat dan Inspirasi.co. Karya para pemenang lalu dibukukan, agar bisa dinikmati dan diambil manfaatnya oleh publik yang lebih luas. Diharapkan, berbagai tulisan ini akan bisa membantu memperkaya pemikiran kita. 

Salam, 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun