Badanku masih terkulai lemas. Setiap aliran darahnya justru melemah. Menerima keadaan dimana setiap kata hilang tak bernyawa. Dia tak pernah mengira sehelai rambutnya masih tertinggal di pangkuanku. Saat tangisan itu masih jatuh pecah. Mengalir masuk dalam aliran darah.Â
Pada akhirnya malah kita sama-sama tak berdaya. Penantian kita bersama di ujung senja. Jangan pernah bertanya lagi, aku masih belum memberi jawab. Karena kutahu jawabmu sedari awal. Takkan bisa dua satu dipadu akan beradu.Â
Senyuman itu masih merekah. Kuelus helaian rambut yang masih kusut. Seperti urat wajahmu yang mulai mengkerut. Saking mendidihnya sudah lama memerah. Sontak, kau beranjak bangun. Dia memperhatikan seperti bingung. Linglung seperti hilang ingatan. Masih muda sudah alzheimer. Bergegas pergi tanpa menunggu. Selayang pandang ia pergi. Dibalik jendela, masih terlihat bayangannya yang disapu oleh waktu. Diasingkan terasa sendiri. Menerawang jauh, tak berani bertanya. Hanya menunggu setiap kata itu bungkam. Tak bicara diputus jarak. Dibuang oleh erosi emosi. Kain mori sudah siap diatas meja, bungkuslah aku.Â