Mendapat anugerah yang seharusnya bukan anugerah. Tetapi ia bagian dari yang melekat didalam diri. Aku masih teringat ketika tembok besar itu dibuat untuk membendung pergolakan hebat mereka yang ingin keluar dari penjara. Campur aduk menjadi satu kekacauan akan tercipta. Mereka tidak sadar seperti apa jika semua tak ada batasan tembok yang memisahkan. Pedang yang dihunuskan ke dalam jantung sudah dilumat habis oleh syarafnya yang telah mati. Dikuliti bagian tajamnya hingga tumpul tak bersisa. Sisa sebatang besi yang panas. Masih tertancap tepat didepan jantung karena darahnya sudah mendidih. Masih ada syaraf yang kusut harus diluruskan. Ditarik paksa, bukan putus malah semakin panjang syarafnya.Â
Ngeri memang...Â
Dia sudah termakan perlahan dengan bisikan dari urat syaraf itu. Panjang semakin mengular. Menutupi tubuh fisiknya yang semakin terkikis oleh darah yang tumpah berlumuran di tanah. Sudah menyerupai tanah, tapi baunya masih anyir terasa. Lama-lama darah dan syarafnya berkarat. Daging tanpa urat. Daging tanpa darah. Putih warnanya menjadi biru. Kaku dimakan ribuan serapah dan makian. Memang hancur lebih mudah dari bertahan. Sekarang sudah luluh lantah dihabisi oleh besi yang berkarat. Tidak ada sisa apapun, hanya ada sebuah kenangan. Pusara nama dengan besi berkarat yang masih menempel dijantung jenazahnya. Masih digerogoti tulang belulang itu sampai putihnya hilang. Sumsumnya merdeka diabaikan.Â
Berserah diri menjadi bagian terhebat jika bisa dilaksanakan. Tapi kalo gagal berserah diri, ia akan terbang bergentayangan. Bukan gentayangan menjadi setan, tetapi menjadi karat yang membawa banyak mudarat. Direndam dengan asam, hilang bagian partikelnya dimakan waktu. Tanpa nama, yang bersisa hanya waktu.Â
Salam,