Mohon tunggu...
Sri Patmi
Sri Patmi Mohon Tunggu... Penulis - Bagian Dari Sebuah Kehidupan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis adalah Bagian dari Self Therapy www.sripatmi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Artikel Sri Patmi: Gara-gara Covid-19, Langit Biru, Dompet Membiru

4 Desember 2020   14:12 Diperbarui: 4 Desember 2020   14:16 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pandemi COVID-19 sudah berjalan selama hampir satu tahun. Efek domino pada akhirnya melumpuhkan segala lini kehidupan. Bahkan diperparah dengan adanya penurunan kualitas diri akibat beban mental yang belum berkesudahan. Manusia dikungkung, dibatasi, diberi jarak, menjalankan protokol kesehatan dengan baik. Sana sini bicara pandemi. Kehidupan yang lain mengharuskan mereka tetap bergerak disaat bumi yang berputar ini seakan terhenti.

Sebagian besar dari mereka mengalami hal terburuk yang tidak pernah diduga dalam hidupnya. Sedang asik bekerja, mendapat pengumuman PHK. Miris, seakan dunia terhenti dan drop total akan terjadi jika tidak ada keyakinan dan harapan yang meneguhkan dan mengukuhkan. Jelas... Selama ini tidak pernah terpikir ini semua akan terjadi ditengah keadaan yang sedang baik-baik saja.

Manusia berlenggang sebebas mungkin, berulah sesuka hati, menikmati kehidupan ini dengan penuh hawa nafsu yang dibawa dari perut. Nafsu kekuasaan, kekayaan dan kejayaan apapun caranya. Manusia melakukan intrik dan berpolitik untuk mencapai tujuannya dengan berbagai cara. Sudut pandang benar dan salah pada akhirnya menjadi sebuah objek yang bersifat sementara.

Disusul dengan upaya penyelamatan diri masing-masing pada akhirnya dilakukan. Alih-alih  penyelamatan untuk kepentingan umum, hal ini didasarkan pada penilaian subjektif semata. Hakikat sejatinya adalah penyelamatan terhadap diri sendiri. Rintih tangis, jeritan lapar dimana-mana. Bersyukur dalam kondisi seperti ini, pemerintah tetap menjaga stabilitas ketahanan pangan. Selama pandemi ini, kata bansos sudah sering terdengar melalui media dan perbincangan mulut ke mulut. Bantuan tersebut menjadi angin segar untuk perekonomian makro dan mikro khususnya.

Korban PHK atau yang dirumahkan hanya mampu menikmati kesedihannya di rumah. Karyawan yang mengundurkan diri hanya berharap cemas terhadap Uang Penggantian Hak (UPH) yang akan mereka terima. Menanti keputusan yang digantung. Semuanya kebingungan pontang panting tak tentu arah. Kerja membabi buta, lesu dan layu. Kemerosotan mental dan psikologis. Tekanan depresi dan stress menghantui. Jika sudah kepepet tidak ada pilihan lain selain bertahan hidup dengan berbagai cara. Mengambil hak orang lain akan dilakoni.

Seperti sebuah hal yang dimulai dari awal lagi. Motivasi yang melemah, pergerakan diri semakin lambat. Susunan kosmos dan syaraf mengatur ulang semuanya. Mengembalikan kemurnian alam ini secara perlahan. Tengok saja disekitar kita saat ini, mayoritas tetangga dan kerabat memiliki hobi dadakan berupa berkebun, bercocok tanam dan menekuni dunia pertanian. Bahkan mereka yang tidak memiliki modal sama sekalipun, bercocok tanam dengan bibit dan benih yang ada di dapur. Seperti cabai, bawang, tanaman apotek hidup. Bahkan ada yang berlomba-lomba untuk mendapatkan jenis tanaman yang memiliki nilai ekonomis tinggi saat ini. Masuk keluar kawasan hutan lindung dan konservasi. Mengabaikan setiap ekosistem didalamnya dijaga agar siklus mata rantai tidak terganggu. Beragam jenis tingkah polah manusia. Tetapi essensi dari kehidupan yang berjalan dimasa pandemi ini adalah purifikasi atau pemurnian nilai alam semesta.

Perubahan kecil tetapi mengembalikan essensi hitam kelam menjadi biru. Mobilisasi kendaraan berasap berkurang karena sebagian besar melakukan aktivitasnya di rumah saja. Angin segar mulai terasa dimana-mana. Hawa panas tetap ada tetapi tidak menyengat dan masih memberikan kesejukan. Masih terasa angina sepoi-sepoi yang menghantarkan ketulusan dan kemurnian dunia ini. Penghijauan terjadi dimana-mana. Mereka berlomba mencari bibit dan benih tanaman untuk ditanam di rumah. Merasakan seni bercocok tanam. Melihat proses bertumbuhnya saja sudah memberikan sense yang berbeda. Merasakan kedamaian kecil bertumbuh ditengah keluarga, ranjang ternyaman untuk pulang dan kembali dari penatnya rutinitas kehidupan.

Pandemi memang memberikan dampak yang sangat mondial. Semuanya terhenti secara massif. Entah sampai kapan, kita bukan ahli untuk meramalkan dunia ini. Penurunan motivasi dan semangat hidup karena tekanan psikologis meraja dimana-mana. Hakikatnya ketika pandemi seperti ini tetaplah bergerak produktif. Menghasilkan sesuatu yang bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain. Hakikatnya, setelah dunia ini terhenti, pada siapa kita akan bergantung? Orang yang bekerja bergantung pada atasan? Atasan bergantung pada siapa? Secara umum, bisnis layu cenderung mati. Salah satu bidang usaha yang bangkit adalah agrobisnis. Pada Sang Kehidupan ini kita akan kembali bergantung, Sang Pencipta jagad raya yang agung.  

Jika diambil kesimpulan secara sederhana, purifikasi atau pemurnian terhadap alam ini sedang terjadi secara alami. Seluruh elemen kehidupan bersatu untuk menjalankan roda yang terhenti untuk bergerak kembali. Cahaya matahari mulai masuk dalam tulang sumsum. Merasuk dalam tubuh manusia agar bersatu dengan alam itu sendiri. Alam yang dulu diabaikan bahkan tak tersentuh sama sekali. Manusia hanya sibuk dengan kepentingannya sendiri. Alam akan diingat karena faktor butuh saja. Setelah itu akan diabaikan kembali. Merusak setiap hari, urusan memelihara sudah tak ada yang peduli. Yuk coba tengok kembali! Masukkan dan tarik lagi kedalam diri kita! Sudah seberapa besar kepedulian kita terhadap alam?

Sudahkah bersyukur terhadap segala pemberian alam yang selalu terlupakan? Meski setiap hari kita berada di kota metropolitan, penuh debu, asap kendaraan, dan polusi. Udara yang kita hirup dan masuk kedalam rongga dada tetap hidup sampai dengan saat ini. Dalam yang tercemar selalu diberikan udara yang murni untuk konsumsi manusia. Dinikmati tanpa harus mengantri di kasir untuk menerima struk dan membayarnya. Manusia terlalu pongah dengan kedikdayaannya. Dipenuhi nafsu serakah sana sini untuk menimbun pundi-pundi rejeki milik sendiri atau milik orang lain. Satu sisi, bingung mau belanja apa lagi?

Sudut yang berseberangan, bingung tidak ada uang untuk belanja. Jika mau berhitung dari manapun asalnya rejeki itu sampai di tangan kita, takkan pernah sanggup rejeki itu terlogikakan oleh akal pikir manusia. Manusia saja terlalu sombong dibekali dengan logika yang tak punya makna. Masih saja dijejali kesesatan yang tidak disadari akibat konsep berpikir dicampur-campur dorongan nurani, pikiran, logika dan jiwa. Benang merah kehidupan sudah dibentangkan. Tetapi tak ada yang menyadarinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun