Mohon tunggu...
Sri Kasnelly
Sri Kasnelly Mohon Tunggu... Dosen

Dosen IAI An-Nadwah Kuala Tungkal

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Menjaga Jarak demi Menjaga Jiwa

15 Juli 2025   18:23 Diperbarui: 15 Juli 2025   18:23 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Dalam dunia yang semakin ramai, terkoneksi, dan penuh dinamika sosial, tidak semua perjumpaan membawa kelegaan. Tidak semua tanya jawab bermuara pada pemahaman. Bahkan, tidak semua komunikasi menghasilkan kedekatan. Kadang-kadang, justru dari interaksi sehari-hari, yang tampak biasa dan sederhana, lahir luka-luka kecil yang tak kasatmata, namun perlahan menggerus ketenangan batin.

Menghindari terlalu banyak perjumpaan dengan orang lain bukanlah bentuk anti-sosial, apalagi kesombongan. Ia adalah bentuk kesadaran bahwa setiap pertemuan membawa energi, dan tidak semua energi cocok untuk jiwa yang sedang mencari tenang. Terlalu banyak kata-kata, terlebih yang tidak jernih niatnya, bisa menjadi racun bagi ketenangan mental. Apalagi jika pertanyaan-pertanyaan yang diajukan bukan bertujuan memahami, melainkan menghakimi. Bukan karena peduli, melainkan mencampuri. Maka menjaga jarak, dalam konteks ini, adalah pilihan yang sehat.

Di balik setiap kata yang dilontarkan atau yang kita dengar, ada tanggung jawab emosional. Kata bisa menjadi jembatan kasih, namun juga bisa berubah menjadi anak panah yang tajam. Terkadang, pertanyaan-pertanyaan kecil seperti "Kapan menikah?", "Kerjanya di mana sekarang?", atau "Kok kamu begini terus?" terdengar sepele, namun bagi sebagian orang, bisa menjadi pemantik rasa cemas, malu, atau merasa gagal. Kita tidak pernah benar-benar tahu kondisi batin seseorang, maka alangkah bijaknya jika kita mulai lebih berhati-hati dalam berkata, dan lebih selektif dalam membuka diri.

Namun bukan berarti manusia harus sepenuhnya menarik diri dari dunia. Justru dalam jeda, kita menemukan ritme baru. Dalam diam, kita mendengar isi hati sendiri. Dalam menyepi, kita mengenal siapa yang benar-benar peduli dan siapa yang hanya hadir ketika mereka butuh. Dalam menjauh dari keramaian, kita sedang belajar memeluk diri sendiri.

Menjaga kesehatan jiwa dan raga adalah kewajiban, bukan kemewahan. Terlalu lama berada di ruang sosial yang penuh ekspektasi dan penilaian bisa membuat kita kehilangan arah, merasa harus menjadi sesuatu yang bukan diri kita. Maka dari itu, memberi waktu untuk menenangkan batin bukanlah pelarian, melainkan bentuk penghormatan pada diri sendiri. Kita berhak berkata "tidak" pada hal-hal yang melelahkan secara emosional. Kita boleh memilih diam, memilih ruang sunyi, memilih siapa yang kita izinkan masuk ke ruang personal kita.

Membahagiakan diri dengan cara masing-masing adalah bentuk kemandirian emosional. Tidak semua orang merasa bahagia di tengah keramaian. Tidak semua orang merasa damai dengan validasi eksternal. Ada yang bahagia dengan membaca buku, menyeduh kopi, bercocok tanam, menulis jurnal, atau sekadar berjalan kaki tanpa tujuan jelas. Semua itu sah, asalkan tidak merugikan orang lain dan menumbuhkan kembali semangat hidup dalam diri.

Penting untuk menyadari bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Bahkan, keduanya saling berkaitan. Tubuh yang sehat akan sulit dipertahankan jika pikiran dan hati terus dipenuhi beban tak kasatmata. Maka dari itu, menjaga jarak dari hal-hal yang toksik bukan berarti lemah, tetapi kuat. Menghindari debat yang tidak produktif adalah bentuk kedewasaan. Tidak membalas sindiran adalah bentuk penguasaan diri. Dan memilih menyepi daripada menyakiti adalah bentuk kasih sayang yang mendalam, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Sudah biasa, di mana semua orang bisa bicara dan didengar dalam waktu bersamaan, penting bagi kita untuk tetap waras dan tidak hanyut dalam kebisingan. Jika perlu, berhenti sejenak. Heningkan dunia luar untuk bisa mendengarkan dunia dalam. Sebab dari sanalah lahir kekuatan sejati yaitu ketika kita bisa bahagia tanpa harus selalu dipahami, dan bisa tenang tanpa harus selalu dimengerti.

Akhirnya, semoga setiap dari kita diberi keberanian untuk merawat diri, menjaga hati, dan memilih cara hidup yang paling sesuai dengan jiwa kita. Tidak perlu memaksakan diri untuk selalu hadir dalam keramaian jika sesungguhnya kita sedang ingin pulang ke dalam diri sendiri. Seperti kata pepatah, "Orang yang paling bijak bukan yang banyak bicara, melainkan yang tahu kapan harus diam". Diam bukan berarti kalah. Diam adalah cara jiwa menyapa langit dan menyembuhkan diri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun