Mohon tunggu...
Sri Kasnelly
Sri Kasnelly Mohon Tunggu... Dosen

Dosen IAI An-Nadwah Kuala Tungkal

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tradisi dan Tantangan Substansi Seremonial di PTKIS

11 Juli 2025   07:02 Diperbarui: 11 Juli 2025   07:02 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS) memegang peran strategis dalam mencetak intelektual Muslim sekaligus aktor transformasi sosial di tingkat lokal dan nasional. Namun, belakangan ini, terdapat kecenderungan yang mengkhawatirkan yakni semakin seringnya PTKIS menggelar kegiatan seremonial yang mewah namun minim substansi. Fenomena ini menyisakan pertanyaan mendasar: ke mana arah dan makna akademik dari institusi yang seharusnya mengusung nilai-nilai keilmuan dan keislaman?

Dalam perspektif kultural, seremoni seperti wisuda, milad kampus, pelantikan pimpinan, atau peresmian unit baru memiliki makna simbolik penting. Ia mengafirmasi eksistensi kampus, memperkuat identitas kelembagaan, dan membangun memori kolektif sivitas akademika. Pada PTKIS, seremoni kerap juga dikaitkan dengan nilai-nilai spiritual, seperti pembacaan doa bersama atau ceramah hikmah, yang memberi warna khas pada institusi keislaman.

Namun di sisi lain, ketika kegiatan seremonial menjadi terlalu sering, berbiaya besar, dan minim keberlanjutan program, maka ia hanya akan menjadi ritualisme simbolik yang menjauhkan kampus dari peran strategisnya dalam pengembangan ilmu, riset, dan pengabdian masyarakat. Seremonial tanpa arah akademik bisa menjadi panggung pencitraan sesaat, bukan proses pematangan institusi.

Empat Problem Seremonial di PTKIS, Pertama, sebagian besar seremoni hanya menjangkau permukaan dan tidak menyentuh akar persoalan yang dihadapi PTKIS, seperti rendahnya mutu akademik, minimnya publikasi ilmiah bereputasi, atau lemahnya kapasitas kelembagaan. Kegiatan peluncuran program sering tidak diiringi implementasi konkret, bahkan sekadar mengganti nama atau spanduk tanpa pembaruan isi.

Kedua, alokasi anggaran untuk seremoni kadang tidak sebanding dengan kebutuhan esensial kampus. Sementara banyak PTKIS masih berjuang menyediakan laboratorium standar, akses jurnal ilmiah, atau pelatihan dosen, dana besar justru dihabiskan untuk panggung, dokumentasi, plakat, hingga penyambutan tamu.

Ketiga, kegiatan seremoni kerap mengukuhkan budaya birokratis dan feodal. Pemimpin kampus menjadi pusat perhatian tunggal, sementara dosen dan mahasiswa hanya berperan sebagai penonton. Ruang partisipasi akademik tergeser oleh dominasi protokoler.

Keempat, terdapat tendensi bahwa seremonial digunakan untuk legitimasi politik internal kampus, terutama menjelang pemilihan atau rotasi jabatan. Akibatnya, kultur ilmiah tergantikan oleh manuver simbolik, dan iklim keilmuan terpinggirkan.

Reorientasi Menuju Seremonial yang Bernilai dalam hal ini,vPTKIS perlu melakukan pembenahan terhadap orientasi kegiatan seremonial. Bukan dengan meniadakan seluruh bentuk seremoni, melainkan dengan:

1. Memastikan bahwa setiap seremoni memiliki muatan ilmiah dan keberlanjutan program. Misalnya, milad kampus bukan sekadar perayaan, tapi menjadi ajang refleksi capaian tridarma, evaluasi mutu, dan launching program peningkatan daya saing kampus.

2. Menyederhanakan seremoni secara anggaran dan teknis, agar tidak membebani kampus yang mengandalkan UKT mahasiswa sebagai sumber utama pembiayaan.

3. Mendorong keterlibatan sivitas akademika secara aktif, bukan hanya sebagai pelengkap undangan, tetapi sebagai pemilik dan pelaksana ide-ide besar kampus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun