Mohon tunggu...
Sri Kasnelly
Sri Kasnelly Mohon Tunggu... Dosen

Dosen IAI An-Nadwah Kuala Tungkal

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Akal dan Hidayah dalam Konteks Visa Ziarah yang Digunakan untuk Berhaji

4 Juni 2025   15:13 Diperbarui: 4 Juni 2025   15:13 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap tahun, ribuan umat Islam dari berbagai negara berusaha melaksanakan ibadah haji sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Namun, karena kuota haji resmi terbatas dan antrean bisa sangat panjang, sebagian orang mencari celah dengan menggunakan visa ziarah atau visa non-haji untuk menunaikan ibadah haji. Fenomena ini menimbulkan dilema moral dan hukum yang dapat dianalisis dari perspektif akal dan hidayah, dua karunia terbesar yang diberikan Allah kepada manusia.

Peran Akal: Mencari Solusi atau Merasionalisasi Pelanggaran?

Secara rasional, tindakan menggunakan visa ziarah untuk berhaji seringkali dilandasi oleh argumen logis: "Daripada menunggu bertahun-tahun, lebih baik menggunakan jalur lain selagi mampu secara fisik dan finansial". Akal manusia berperan dalam menemukan alternatif dan solusi, namun akal yang tidak dibimbing oleh hidayah rentan tergelincir menjadi alat pembenaran terhadap tindakan yang tidak sah secara hukum syariat maupun negara.

Akal di sini memainkan dua sisi: ia dapat menjadi alat untuk merancang strategi taat, atau menjadi senjata untuk merasionalisasi pelanggaran. Ketika seseorang mulai mencari celah-celah hukum hanya demi kepentingan pribadi, maka akalnya tidak lagi digunakan untuk kebaikan kolektif, melainkan untuk melanggar sistem yang dirancang demi keadilan dan ketertiban.

Hidayah: Petunjuk dalam Menghadapi Godaan dan Jalan Pintas

Di sinilah pentingnya hidayah. Petunjuk dari Allah SWT membantu manusia menahan diri dari pilihan yang tampak mudah namun tidak dibenarkan. Hidayah mengarahkan hati untuk sabar, tunduk pada aturan yang berlaku, dan menjauhi praktik yang bisa membahayakan diri sendiri maupun jamaah lain. Dalam konteks visa ziarah, hidayah menjaga seseorang agar tidak mengambil jalan pintas yang menyalahi peraturan pemerintah Arab Saudi maupun prinsip ketaatan terhadap aturan syar'i.

Allah SWT memerintahkan agar manusia menunaikan haji "jika mampu" (QS. Ali Imran: 97). Kemampuan ini mencakup aspek fisik, finansial, dan legalitas perjalanan. Maka, keberangkatan haji dengan cara yang menyalahi aturan termasuk melalui visa yang bukan diperuntukkan bagi ibadah haji berarti memaksakan diri di luar batas kemampuannya yang sah.

Akal dan Hidayah: Antara Kecerdasan dan Ketaatan

Fenomena penggunaan visa ziarah untuk berhaji menunjukkan adanya ketegangan antara kecerdasan dan ketaatan. Banyak dari pelakunya memiliki tingkat intelektualitas tinggi, mampu merancang strategi perjalanan dan memahami celah birokrasi. Namun, kecerdasan semacam ini tidak diiringi oleh kesadaran spiritual yang utuh.

Dalam Islam, kecerdasan bukanlah jaminan keselamatan. Akal tanpa hidayah dapat menjadikan seseorang merasa "lebih tahu" dari aturan Allah atau pemerintah, dan justru terjebak dalam kesombongan spiritual. Sebaliknya, hidayah menjadikan seseorang tunduk pada hukum Allah dan bersabar dalam menanti giliran, tanpa mencari jalan yang mengandung unsur tipu daya.

Implikasi Etika dan Kolektif

Dari sisi etika sosial, tindakan ini juga mengganggu ketertiban jamaah dan menambah beban petugas di tanah suci. Banyak yang akhirnya tidak terlayani secara medis, kehilangan akomodasi, atau bahkan mengalami musibah karena tidak terdaftar dalam sistem haji resmi. Ini membuktikan bahwa perbuatan yang mungkin tampak sepele di awal bisa menimbulkan dampak negatif kolektif.

Akal yang jernih dan hidayah yang terjaga akan memandang bahwa ibadah tidak hanya soal "sampai tujuan", tetapi juga "bagaimana cara sampai ke sana". Islam tidak hanya menekankan hasil (maqasid), tetapi juga prosedur (manhaj) dan niat (niyyah).

Penutup: Keseimbangan antara Usaha dan Tunduk pada Ketentuan

Fenomena penggunaan visa ziarah untuk berhaji adalah ujian nyata tentang bagaimana manusia memanfaatkan akal dan menerima atau menolak hidayah. Akal semestinya digunakan untuk memahami sistem, mempersiapkan keberangkatan secara sah, dan mendoakan jalan terbaik. Hidayah diperlukan agar tetap sabar, taat, dan menghindari jalan pintas yang menodai kemurnian ibadah.

Kesalehan sejati bukan hanya dinilai dari berhasilnya seseorang melakukan ritual, tetapi dari kesetiaan pada nilai-nilai kejujuran, kepatuhan, dan kesabaran yang membingkai setiap langkahnya. Dalam hal ini, hanya mereka yang menyinergikan akal dan hidayah yang benar-benar mendapat ridha Allah dalam perjalanan menuju-Nya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun