Mohon tunggu...
Sri Endah Mufidah
Sri Endah Mufidah Mohon Tunggu... Guru - Guru PAI di Pemkab Blitar

Menyukai dunia pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Hakekat Toleransi yang Sesungguhnya adalah Tanpa Sekat dalam Pergaulan

17 April 2022   10:19 Diperbarui: 17 April 2022   18:37 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://awsimages.detik.net.id/

Meskipun peristiwa ini terjadi sejak 20 tahun yang lalu, tetapi saya yakin ini akan selalu menjadi kenangan yang indah untuk selalu diingat dan dikenang.

Pada tahun 2000 an, saya pernah tinggal di Bali selama kurang lebih tiga tahun. Saat itu, dalam benak saya yang terpikir adalah, mumpung saya masih muda saya ingin mencari pengalaman sebanyak-banyaknya.

Tinggal dilingkungan dengan latar belakang agama yang berbeda bukanlah hal yang mudah bagi saya. Apalagi, di rumah tempat tinggal saya, jarak antara rumah dan masjid hanya beberapa puluh meter saja. Jadi, gema suara azan nyaris terdengar lima kali sehari setiap hari, ditambah dengan beberapa kegiatan keagamaan lain seperti dziba', manakib, yasinan, tahlilan, istighatsah dan lain-lain.

Awal tinggal di Bali, saya merasa asing sebenarnya. Telinga saya sama sekali tidak pernah mendengar suara azan, karena jarak antara rumah dengan masjid atau mushalla terdekat sekitar 3 kilometer. Saat bulan Ramadhan, ketika saya ingin shalat taraweh saya harus menempuh jarak 3 kiloan untuk bisa shalat tarweh berjamaah. Sebuah tantangan yang sangat berat.

Di Bali, saya bekerja sebagai tenaga pengajar disebuah PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Mengajar) yang berlokasi di pinggir kota. Saya memiliki kesempatan untuk mengajar di Bali atas rekomendasi dari tempat belajar saya sebelumnya, karena, saya dinilai cukup mampu untuk mengembangkan ilmu yang saya peroleh, saya di kirim sebagai tenaga pengajar disana.

Hampir semua tenaga pengajarnya adalah beragama Hindhu. Hanya owner lembaga, saya dan seorang teman saya yang muslim. Karena berada dilingkungan yang hampir semua beragama Hindhu, maka saya mau tidak mau harus bisa segera menyesuaikan diri. Dan meskipun semua beragama Hindhu, tetapi semua bisa saling menghargai dan menghormati. Seperti contohnya, karena jam kerja saya sampai malam hari, maka ada dispensasi khusus bagi yang muslim untuk beristirahat setiap kali saat shalat tiba. Dan itu juga berlaku bagi yang bergama Hindhu, dimana mereka harus sering izin apabila ada upacara keagamaan. Dan kami semua dengan rela menggantikan tugas mereka yang sedang cuti.

Teringat dengan salah satu murid saya yang bernama Bu Kadek. Dia adalah murid saya meskipun usianya jauh diatas saya. Suaminya adalah seorang pemuka agama, tetapi meskipun begitu, dia bisa berteman baik dengan saya. Suatu hari, saya pernah diajak pulang ke kampung halamannya di Karangasem. Nah, ditengah perjalanan, setelah menempuh perjalanan lebih dari tiga jam, kami memutuskan berhenti disebuah rumah makan, karena kebetulan sudah waktunya makan siang. Mereka (Bu kadek dan suaminya) tahu kalau  muslim diharamkan untuk makan daging babi, maka mereka mengajak kami berhenti di sebuah warung khas jawa. Karena ada tulisan "Jawa", maka saya dengan "pede" memesan makanan. Tapi apa yang dihidangkan, ternyata sayur lengkap dengan irisan daging yang saya kira jantung sapi atau apa, ternyata adalah "didih" yaitu darah ayam yang digoreng. Mereka (teman saya) tidak mengetahui, kalau darah juga diharamkan dalam agama Islam. Merekapun minta maaf, serta meminta saya memesan makanan yang lain. Warung jawa bukan berarti warung muslim. Jadi, kalau mau makan di Bali, silahkan pilih "warung muslim" apabila beragama Islam.

Pernah juga ada satu kejadian. Suatu hari saya diundang ke pesta perkawinan teman saya yang beragama Hindhu. Setelah prosesi perkawinan selesai, tibalah saatnya waktu makan, tak terkecuali saya juga ikut mengantri mengambil makanan yang telah tersedia. Berbagai macam masakan tersedia. Ditengah antrian, tiba-tiba saya merasa ada seseorang yang menarik lengan saya, dan setelah saya menoleh, ternyata saya tidak mengenalnya. Sambil tersenyum saya bertanya ada apa kok menarik lengan saya. Jawaban yang diberikan sungguh diluar dugaan saya. Dan balik bertanya: "Mbaknya muslim kan?," tanya orang asing tersebut. Saya jawab : "Iya, kenapa?," saya balik bertanya. Dia akhirnya bilang: "Mbak seluruh makanan disini mengandung babi lho,". Dengan muka terkejut, saya lanjutkan mengantri tapi hanya mengambil sebuah semangka sebagai lauknya. Karena saya yakin, kalau semangka tidak mungkin mengandung babi.

Setiap kali mengingat kejadian tersebut, saya selalu tersenyum sendiri. Dan kejadian tersebut banyak memberikan pelajaran berharga bagi saya, bahwa toleransi yang sesungguhnya adalah saling menghargai dan mengingatkan terhadap pemeluk agama lain meskipun muslim adalah minoritas di Bali. Sebaliknya, sebagai pemeluk agama minoritas hendaknya juga bisa menyesuaikan diri dengan penduduk asli yang notabene adalah beragama Hindhu. Konsep "lakum diinukum waliyadin" hendaknya benar-benar diterapkan hanya dalam segi ibadah dan aqidah  bukan dalam pergaulan dan bermasyarakat.

Blitar, 17 April 2022

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun