Bulan Maret seharusnya sudah masuk dalam masa panen raya bagi para petani jagung. Pada masa-masa ini para petani bisa menikmati hasil jerih payah mereka bertanam selama beberapa bulan terakhir. Tapi sepertinya hal itu tidak bisa dinikmati oleh sekelompok petani jagung di Nusa Tenggara Barat (NTB). Padahal di tingkat nasional, provinsi itu terkenal akan produksi jagungnya.
Menurut data Dinas Pertanian Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Sumbawa Barat, sekitar 800 hektar jagung di Kecamatan Poto Tano, mengalami gagal panen.Â
Kemalangan tersebut terjadi di dua desa kecamatan setempat yaitu Desa Tua Nanga sebanyak 600 hektar dan Desa Kiantar sebanyak 200 hektar. Gagal panen ini adalah akibat dari tidak stabilnya curah hujan di wilayah sekitar dan mengakibat tanah serta tanaman jagung kekurangan air. Bisa dibilang, kegagalan panen kali ini merupakan faktor alam yang tidak bisa diprediksi.Â
Bukan hanya produksi yang akan berkurang. Para petani juga akan menderita kerugian yang bukan main. Standarnya, biaya untuk mengusahakan jagung satu hektare adalah sekitar Rp 8,5 juta. Bila kita rata-rata, berarti gagal panen itu bisa membuat petani di sana rugi sejumlah total Rp 6,8 milyar.Â
Perlu ada upaya khusus bagi para petani jagung yang menderita gagal panen. Baik itu dalam bentuk bantuan benih, pupuk, dan subsidi untuk musim tanam ke depan. Atau bisa juga lobi dan insentif bagi para petani yang menggunakan modal dari perbankan untuk bertanam di musim ini.Â
Baik Dinas Pertanian atau mungkin Kementerian Pertanian mungkin bisa mewakili para petani ini untuk melobi pihak perbankan untuk memberi kelonggaran. Berupa penundaan angsuran atau mungkin sampai pengembalian modal pinjaman seperti asuransi.Â
Jangan sampai gagal panen dan kerugian yang diderita petani kali ini membuat mereka patah hati dan kehilangan niat untuk bertani ke depannya. Karena menciptakan petani baru adalah hal yang sukar dilakukan. Oleh karena itu, kita harus sebisa mungkin mempertahankan petani yang sudah ada.