Mohon tunggu...
Sri NurAminah
Sri NurAminah Mohon Tunggu... Lecturer

I am entomologist, I believe my fingers. Cerpen pertama Kartini Dari Negeri Kegelapan menjadi Juara III Lomba Menulis Cerpen (Defamedia, Mei 2023); Predikat Top 15 Stories (USK Press, Agustus 2023); Juara II Sayembara Cerpen Pulpen VI (September 2023); Juara II Lomba Menulis Cerpen Bullying (Vlinder Story, Juni 2024); Predikat 10 Top Cerpen Terbaik (Medium Kata, Agustus 2024); Juara III Lomba Menulis Cerpen The Party's Not Over (Vlinder Story, Agustus 2024); Predikat 10 Top Cerpen Terbaik (Medium Kata, Oktober 2024). Novel yang telah dihasilkan: Baine (Hydra Publisher, Mei 2024) dan Yomesan (Vlinder Story, Oktober 2024). Instagram: @srifirnas; personal website https://www.aminahsrilink.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sa Masih Lapar Kakak....

9 April 2025   14:32 Diperbarui: 9 April 2025   14:32 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sa masih lapar Kakak," rintih Doni memegang perutnya yang berbunyi nyaring. Malam sangat dingin menyapa kamar tidur yang kami tempati. Suasana temaram karena lampu pelita semakin menggairahkan para cacing bermain orkes menyenandungkan irama kelaparan di dalam kampung tengah milik Doni, adikku.

"Apa ko bilang? Ko masih lapar? Apa ko lupa, sudah tiga biji roti beras ko makan belom bikin ko kenyang? Itu lambung apa karet ban yang ada dalam perutmu heh?" aku menggerutu panjang lebar. Kasur kapuk yang kupakai berbaring terasa sangat dingin bagaikan es. Mungkin karena kapuknya yang sudah menjadi remah sehingga tidak mampu lagi menahan panas. Kupandangi mulut Doni yang komat kamit di bawah sarung. Seingatku setelah salat Isya, anak ini telah memakan semua roti beras yang dikirim oleh Mama Rindang kemarin sore. Tidak dapat kusalahkan, cuaca dingin memaksa mulut selalu mencari sesuatu yang dapat dikunyah.

"Ihhh... mulut Kakak jahat. Sa belum kenyang kalo belum makan nasi. Ini semua roti beras sama remah-remahnya masih terapung dalam perutku," terdengar tangis Doni.

"....seandainya Mamak masih ada, pasti hidupku tidak begini. Mamak selalu masak enak-enak kek ikan pallumara, racca mangga, sayur tumis kangkung sama langga roko' (ikan teri bumbu kelapa parut dibungkus daun pisang dan dibakar). Sungguh tega Mamak tinggalkan Doni sendirian..." celoteh Doni seperti tidak ada habis-habisnya semakin membuat kepalaku puyeng.

"Hus... mengkhayal saja kau ini," aku bangun dari pembaringan dan membelalakkan mataku. Doni terdiam mendengar hardikanku. Perasaanku luar biasa cemas merasakan hawa dingin menusuk kulit. Pasti kampung ini telah tertutup kabut tebal yang turun dari gunung. Hujan deras sejak beberapa hari membuat suasana makin mencekam. Kampung kami berada di pinggir sebuah sungai besar yang menjadi sumber air bersih dan MCK (mandi, cuci, kakus). Jika turun hujan lebat, jembatan menuju kampung pasti terendam air sungai yang meluap. Sejak banyak hutan dibabat di bagian hulu, saat itulah dimulainya musibah untuk kampungku dan daerah sekitarnya. Luapan air sungai datang secara tiba-tiba pasti menghanyutkan apapun ditemuinya termasuk simpanan umbi-umbian yang masih berada di kolong rumah. Hal inilah yang terjadi pada keluargaku. Beberapa hari lalu aku baru saja memanen ubi jalar yang masih teronggok di dalam karung di kolong rumah panggung. Tempat itu hanya ditutup sebuah pintu bambu rapuh. Tanpa kuduga, air sungai meluap dan membawa hanyut karung berisi ubi jalar belum disortir. Rasa lelah menyebabkan aku membiarkan onggokan ubi jalar di kolong rumah dengan dalih akan mengangkutnya sedikit demi sedikit ke dapur. Apa hendak dinyana air bah membawa semua ubi jalar hasil panen. Uang tidak dapat, adikku juga merengek kelaparan karena tidak ada lagi yang dapat dimakan di dalam rumah.

Aku menghela nafas menahan rasa perih dalam perutku. Aku mencoba mengganjal perut dengan air minum namun terlalu banyak masuk cairan tanpa nutrisi  malah membuatku mual. Tampaknya kami harus bersabar menunggu redanya amukan hujan dan air sungai supaya dapat turun dari rumah. Saat Mamak masih ada, dapur selalu penuh bahan makanan mentah yang siap diolah sehingga tidak menimbulkan musibah kelaparan di dalam rumah Apa daya, keterbatasanku dalam mengelola bahan makanan dan dapur peninggalan Mamak membuatku merasakan penyesalan luar biasa mendalam. Aku sungguh membuang kesempatan emas tidak mau belajar mengelola bahan makanan dari  mendiang Mamak. Mau apa lagi? Nasi sudah menjadi bubur, Mamak telah pergi untuk selama-lamanya karena sakit paru-paru basah menahun yang dideritanya.

"Kakak...kakak...." terdengar rintih Doni berulang-ulang dengan suara parau. Aku membalikkan badan, memegang dahi adikku yang baru berumur 7 tahun. Ya Allah, kurasakan badannya sepanas bara. Kulihat butiran keringat dingin memenuhi dahinya. Badan Doni menggigil dan memanggil Mamak berkali-kali.

"Weee...kenapa ko Doni?" aku bertanya panik sambil meraba dahi Doni. Adikku seakan tuli, tidak merespon panggilanku. Aku melompat dari tempat tidur dan berlari menuju ke dapur. Aku mengambil baskom berisi air dan mencari kain di dalam lemari usang peninggalan Mamak. Segera  kukompres dahi Doni supaya turun panasnya. Namun upaya itu tidak membuahkan hasil nyata.

"Sabar ko Doni, kalo matahari terbit, Kakak pigi ke rumahnya Mama Rindang. Semoga dia punya obat kasih turun panas," ucapku sambil memegang dahi Doni yang membara.

Waktu berjalan sangat lambat. Tanpa sengaja, aku tidur sambil terduduk di samping Doni. Kupegang tangannya erat-erat untuk memberi semangat melalui malam mencekam. Hujan telah lama berhenti menyisakan rasa dingin dan harapan bahwa besok pagi air telah surut. Aku kembali tertidur. Saat kubuka mata, sinar matahari telah masuk melalui celah jendela. Segera aku turun dari peraduan dan berjalan menuju ke jendela dan membukanya. Tampak air sudah surut dan menyisakan lumpur menjijikkan di permukaan. Aku segera berlari ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi. Saat masuk kembali ke dalam kamar, segera kupegang dahi Doni yang masih terasa panas. Doni tertidur dengan wajah memerah. Sesekali kupandang wajahnya saat aku berpakaian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun