Mohon tunggu...
sri nuraini
sri nuraini Mohon Tunggu... Hoteliers - swasta

seorang yang gemar snorkeling

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menolak Pancasila; Salah Paham dan Paham yang Salah

13 Agustus 2022   12:36 Diperbarui: 13 Agustus 2022   13:09 740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pancasila - jalandamai.org

Pertentangan antara agama dengan negara dan ideologi Pancasila dengan ideologisasi agama menjadi penyebab utama tindakan terorisme di Indonesia. Narasi anti Pancasila, demokrasi dan nasionalisme menjadi salah satu doktrin yang mudah meradikalisasi di kalangan masyarakat awam. Fanatisme agama menjadi alasan mereka menolak azas tunggal Pancasila karena menurut mereka tidak sesuai dengan syariat Islam.

Paham yang salah tersebut dimanfaatkan kemudian digaungkan untuk mendapat dukungan dan pengikut. Apalagi kalau paham tersebut dianut oleh tokoh-tokoh agama sebagai salah satu pranata agama yang mempunyai kedudukan dan pengaruh besar di tengah-tengah masyarakat. Dengan kelebihan yang mereka miliki baik dalam ilmu pengetahuan, jabatan, keturunan dan lain sebagainya menjadikan mereka pemimpin informal yang ditunjuk atas kehendak dan persetujuan masyarakat.

Sudah mahfum apabila tokoh agama selalu menjadi panutan dan acuan masyarakat dalam beragama karena dinilai ilmu agama seorang tokoh agama pasti jauh lebih baik dari masyarakat awam. Hal itu membuat masyarakat biasanya manut apa yang dikatakan seorang tokoh agama, meskipun sang tokoh menganut paham yang keliru karena kesalahpahamannya.

Ditambah lagi tingkat literasi atau budaya membaca di Indonesia yang sangat rendah, jadilah fenomena yang kita temui belakangan ini, begitu banyak orang fanatik tapi tidak tahu dengan pasti apa yang mendasari fanatisme mereka. Kebanyakan dari mereka ketika ditanya hanya menjawab "pokoknya begitu yang saya dapat". Hal ini disebabkan kebanyakan pemuka agama memposisikan dirinya sebagai superior yang tak terbantahkan, jadi jika sang tokoh bilang A maka jamaah harus setuju dan mengikuti A sebagai sebuah kebenaran. Tidak terbuka ruang diskusi sebagai media para jamaah untuk mempertanyakan kenapa harus A? Seharusnya pemuka agama dapat meningkatkan daya berpikir kritis dengan menimbulkan keingintahuan dan berbesar hati menchallenge jamaah mencari kebenaran pembanding untuk memperkuat keyakinannya.

Tidak ada kebenaran yang hakiki selain kebenaran yang datangnya dari Allah, SWT, semua pasti butuh proses dalam pencarian menuju kebenaran. Sebagai contoh, Ustadz Abu Bakar Ba'asyir pendiri Ponpes Islam Al-Mukmin, Ngruki, Grogol, Sukoharjo yang dianggap sebagai tokoh yang gigih melawan penerapan azas tunggal Pancasila hingga dijebloskan penjara selama 15 tahun atas tuduhan keterlibatannya dalam terorisme, belum lama ini akhirnya mengakui Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara.  

"Indonesia berdasarkan Pancasila itu mengapa disetujui ulama? Karena dasarnya tauhid, Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini pun pengertian saya terakhir. Dulunya saya anggap Pancasila itu syirik. Saya begitu dulu. Tetapi setelah saya pelajari selanjutnya, ndak mungkin ulama menyetujui dasar negara syirik. Ndak mungkin itu."

 Petikan narasi video yang berdurasi 40 detik tersebut sempat mengejutkan publik, namun mendapatkan respon yang sangat positif. Bagaimana tidak, penuntasan kasus radikalisme dan terorisme yang sudah sedemikan massive di tanah air seakan mendapat angin segar. Merujuk pada budaya patronase di lingkungan pesantren, tentu saja kita berharap pengakuan Abu Bakar Ba'asyir tersebut akan diikuti oleh seluruh entitas yang terdapat di Ponpes Islam Al-Mukmin, Ngruki, Grogol, Sukoharjo. Tidak tertutup kemungkinan apabila pengakuan tersebut akan menjadi triger bagi penentang ideologi Pancasila lainnya untuk bertobat karena Abu Bakar Ba'asyir merupakan tokoh yang sangat berpengaruh.

 Semoga pengakuan Abu Bakar Ba'asyir bukan sebuah "prank" untuk menutupi tindakan perlawanan yang lebih besar terhadap NKRI namun pengakuan yang didasarkan dari hati nuraninya untuk dapat kita rayakan bersama dalam momen ulang tahun Republik Indonesia yang ke-77. Merdeka! 

    

      

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun