Mohon tunggu...
sri nuraini
sri nuraini Mohon Tunggu... Hoteliers - swasta

seorang yang gemar snorkeling

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memaknai Esensi Hijrah dari Tahun Baru 1444 H

30 Juli 2022   07:21 Diperbarui: 30 Juli 2022   07:29 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanggal 30 Juli 2022 Masehi bertepatan dengan tahun baru Islam 01 Muharram 1444 Hijriah. Seiring pergantian tahun Hijriah kita selalu mengingat peristiwahijrahRasulullah saw dan para sahabat dari Makkah ke Madinah.  

Hijrah dari Makkah ke Madinah tersebut merupakan hijrah hissiyyah (hijrah fisik dengan berpindah tempat) dari darul khauf (negeri yang yang tidak aman) menuju darul amn (negeri yang kondusif) sama halnya dengan hijrah dari Makkah ke Habasyah.

Selain itu ada juga hijrah ma'nawiyyah (hijrah nilai) yaitu; meninggalkan nilai-nilai atau kondisi jahiliyah menuju nilai-nilai atau kondisi islami dalam aspek ibadah, akhlak, pergaulan, cara hidup, pemikiran dan pola pikir serta aspek-aspek diri dan kehidupan lainnya sesuai dengan tuntutan keimanan dan konsekuensi keislaman.

 Namun dalam beberapa keadaan, esensi hijrah kerap disalah artikan sehingga maknanya bergeser dan merusak arti hijrah itu sendiri. Bahkan tidak sedikit dari kita atau berbagai kalangan diluar sana ketika memutuskan berhijrah hanya sekedar berganti casing saja tanpa memahami esensi hijrah sesungguhnya.

Tidak jarang ketika sudah berganti casing mereka merasa lebih alim, lebih suci, lebih mengetahui agama. Mereka merasa jalan yang mereka ambil adalah yang paling benar sehingga mereka tidak mau membuka ruang kepada apapun atau siapapun yang tidak sependapat dengan mereka. Hal ini memicu timbulnya intoleransi dengan sesama muslim apalagi dengan mereka yang berbeda keyakinan.

Biasanya spirit hijrah seperti itu dilandasi oleh sikap fanatik yang berlebihan. Jadi mereka tidak berpikir panjang apabila ada suatu hal yang disampaikan oleh kelompok mereka meski itu berupa hoax, narasi kebencian, cacian, provokasi atau adu domba, mereka akan menerima itu sebagai sebuah kebenaran karena hal tersebut dikemas dengan dan atas nama agama.

Kita ketahui bersama sederet kasus hukum terkait dengan hoax dan ujaran kebencian telah diproses oleh kepolisian, dampak hukum yang diterima oleh pelaku tidak membuat efek jera bagi pelaku lainnya, faktanya masih saja banyak ujaran kebencian, cacian, provokasi atau adu domba yang menghiasi media sosial atau kalangan masyarakat kita. 

Hoax, narasi kebencian, provokasi dan adu domba menimbulkan rasa benci antar kelompok yang berseberangan. Hal ini tentunya berimplikasi pada kehidupan sosial bermasyarakat dan retaknya persatuan menjadi taruhannya. Residu dari pesta demokrasi lalu masih belum dapat tersapu bersih sepenuhnya. Para elite dan tokoh sejatinya berperan penting untuk dapat menetralisir rasa benci yang sudah kadung bersemayam di hati masyarakat, bukannya malah tambah menimbulkan konflik dan semakin memperdalam kebencian tersebut.  

Saya pernah melihat status teman saya, disitu tertera "Dua syarat untuk Tidak Terperdaya oleh HOAX, yakni Akal Sehat dan Hati Bersih. Saat Mudah termakan Hoax itu tandanya Akal sedang Tidak Sehat atau Hati sedang Tidak Bersih"

Ada sesuatu yang menarik bagi saya untuk menjadi bahan renungan bersama dari status tersebut, sudah sebegitu akut kah rasa benci di hati kita sehingga kebencian tersebut mengotori (menutup) hati dan melumpuhkan akal sehat?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun