Pernah kau rasa, ketika hujan menusuk tajam, kau berlari kencang, mengejar waktu, bertarung di lebatnya hujan untuk menyelamatkan nyawa anak kandung mu di retas penyakit yang bercokol bawaan lahir. Gen ibunya lebih kuat sehingga dua anak itu menurunkan penyakit yang sama dengan ibu.
Kutinggalkan semua pekerjaan, kutinggalkan tes yang kujalani untuk berlari di koridor rumah sakit. Karena aku mereka sakit, karena aku yang menurunkannya.
Ketika itu usia si sulung lima setengah tahun. Suhu tubuhnya sudah mencapai empat puluh derajat Celcius. Sesak nafas, dan gigil tubuhnya membuatnya kejang.
Ayahnya cuma terpaku, terdiam, seperti merapal doa, entah doa apa yang terucap. Jarum infus berulang terlepas. Tubuhku melesak pasrah, tak sanggup menangis, Raung suara kecil yang memekakkan telinga akibat jarum infus. Rasanya mati rasa, rasa bersalah mendera kalbu yang menciut melihat nafas satu satu.
"Jangan kejang lagi ya nak."
"Maafkan ibu."
Aku memang ibu bodoh melahirkan dalam kondisi prematur, menurunkan penyakit yang sama, rasanya seperti kutukan.
Aku mencintainya melebihi nyawaku, aku memang ibu yang tidak baik. Tidak pintar. Tidak kaya... Seperti lumpuh.
Kurang ku sangat banyak hingga kau mengira aku tak mengasihimu.
Kau tahu.. perjuangan nyawaku ketika kali kedua kau dikabarkan dirawat oleh ustazah di pondok. Sudah gila aku memaki ketololanku.
Aku bersumpah, dalam hati, demi janjiku pada almarhum bapak ku untuk menjaga anak anak ku.