SEBETULNYA semakin kesini, masa depan Buton makin sering mencemaskan kita. Empat puluh tahun yang lalu generasi kami dibesarkan hanya dalam skema Kecamatan Pasarwajo yang merupakan bagian dari Kabupaten Buton sebelum bermekaran. Berpuluh-puluh tahun juga lamanya kami hanya mengenal truck VOLVO dan kapal-kapal tongkang pengangkut aspal yang berjejer di Teluk Pasarwajo. Bisa dikatakan Sekitar 75 persen pengalaman itu hanya tentang Aspal atau orang-orang yang berebut hidup di sektor pertambangan aspal.
Kami tahu dan paham betul, Pasarwajo dulu hidup dan tumbuh dari emas hitam ini, daerah yang  juga ikut memagnet orang senusantara untuk hidup dan bertaruh ke dalamnya. Sebuah Kota yang akhirnya tumbuh dan berkembang dari sumber ini. Tak sedikit, Pasarwajo yang hanya sebuah kota kecil akhirnya bermetamorfosis menjadi kota urban dengan furniture-furnitur modern: rumah sakit mewah berperalatan canggih yang dokternya didatangkan dari luar negri, gedung teater, lapangan dan sarana olahraga memadai, pasokan listrik yang tak pernah mati, pilar-pilar jalan yang penuh mercusuar, dan sekolah berkelas yang alumninya rerata menjebol kampus ternama di republik ini. Sebuah kota kekinian yang sebenarnya hanya menjadi ciri ibu kota Provinsi. Menarik jika kita tengok pengalaman itu.
Sayang, cerita itu sampai di episode akhir, setelah kemudian kota ini menjadi Kabupaten Buton. Banyak dari generasi kami berkata "kok lebih rame dan hidup masih kecamatan ya!". Kota itu mulai menua seiring hilangnya mobil volkswagen kodok dan kombinya di jalanan kota. Di zaman itu hampir tak ada kecamatan di Indonesia yang  jalannya dijejali mobil-mobil yang di impor langsung dari Eropa. Syahdan, di sebuah senja akhir Juli 2003 mesin-mesin besar pengekspor aspal itu padam. Masalah yang juga ikut menjadi penanda hilangnya teks pelajaran dan soal ujian dimana kota penghasil aspal terbesar dalam ujian-ujian akhir nasional sekolah.
Lebih dari semua itu, rasanya waktu itu belum begitu lama di benak kami. Tapi suatu hal yang pasti dihadapan generasi kini adalah munculnya sebuah kesunyian yang kian lama makin mencemaskan. Tentang sebuah kota yang malamnya berakhir di jam 9 malam. Juga tentang bagaimana sebuah daerah yang telah menjadi Ibu Kota ini mengejar ketertinggalannya sebagai upaya menghidupkan Kembali kehidupan empat puluh tahun yang lalu.
Dalam banyak hal, dan dalam berbab-bab diskusi sebenarnya kami menyadari, kota ini terpuruk  karena belum pernah dipimpin dan dimanajemen orang-orang yang betul-betul lahir dan tumbuh dari rahimnya sendiri. Orang-orang yang benar merasai dan melihat langsung betapa proses-proses pembentukan kota dan manusia begitu lambatnya.
Ada paradoks di kota ini. Berahi ingin berubah, tetapi selalu mengandalkan tangan-tangan pihak luar. Generasi kami tak berdaya, dan yang tua memaklumi. Kalaupun mau, mesti melalui drama ''epidemi'' seperti kata Giorgia Agamben dalam Lpidemia come politica-nya yang berarti perang saudara. Polemos epidemos tepatnya: seperti perang dengan musuh yang hidup diantara kita bahkan perang di dalam diri sendiri. Berpuluh-puluh tahun, kita mengalami kebatinan seperti ini atau yang semacam itu.
Akhirnya kita tiba juga di tahun 2024, tahun dimana sebenarnya kita bisa memulai dengan lompatan baru, menjadikan momentum pemilihan kepala daerah sebagai mode melenting, mengelola kota kita dengan tangan kita sendiri, agar kita tak hidup lagi dalam dekapan kecemasan di kemudian hari atau memang sebenarnya kita agaknya lebih menerima keadaan ini dengan PASRAH.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI